Dongeng – Putri Uwina

Sudah delapan tahun menikah, Bangsawan Morrits dan Arlauna, istrinya, belum juga dikaruniai anak. Segala usaha sudah mereka tempuh tapi belum juga menampakkan hasil.
“Apalah artinya harta yang berlimpah bila seorang anak pun tidak kumiliki,” keluh pasangan suami istri bangsawan ini.

Arlauna akhirnya mengandung menjelang usia perkawinan mereka yang ke limabelas. Betapa sukacitanya Bangsawan Morrits mengetahui hal ini. Namun, kegembiraan itu ternyata harus bercampur dengan duka ketika Uwina, anak perempuan mereka lahir. Uwina lahir dalam keadaan yang sukar dipercaya. Sebelah matanya melotot dan sekujur tubuhnya ditumbuhi sisik-sisik kasar. Suara tangisnya pun kroarr, kroarr, serak seperti suara kodok. Orang tua mana yang tak sedih menghadapi kenyataan ini. Rasa sayang Bangsawan Morrits dan istrinya terhadap Uwina sama sekali tak berubah. Mereka cuma mengkuatirkan nasib Uwina kelak. Apakah orang-orang tak akan jijik memandangnya?

Sambil menangis, mereka berdua mengadukan nasibnya kepada Peri Anelot. Setelah berkali-kali namanya diserukan barulah Peri Anelot muncul dan dengan lembut dia berkata, “Aku tidak bisa menyembuhkan penyakit putrimu karena memang itu bukan wewenangku untuk melakukannya. Hanya temanku yang bisa. Tapiii….”
“Tapi apa, Peri?” desak Bangsawan Morrits tak sabar.
Peri Anelot berkata ragu, “Temanku, Peri Boherik itu sering mengajukan syarat yang aneh. Aku takut kalian tak sanggup melaksanakan syaratnya nanti.”
“Apa pun yang terjadi nanti, sekarang tolong panggilkan temanmu itu dulu,” pinta Bangsawan Morrits. “Semoga dia kasihan pada kami dan tidak mensyaratkan apa-apa.”

Sekejap kemudian… wuuzz!!! Setelah Peri Anelot merapalkan mantera muncullah Peri Boherik diiringi pusaran angin yang sangat kencang. Tidak seperti peri-peri lain yang tampak anggun, peri yang satu ini malah terlihat urakan. Sayap biru di punggung kirinya pun agak sobek. Entah sayap itu masih bisa dipergunakan untuk terbang atau tidak.

“Aku sudah tahu kenapa aku dipanggil ke sini. Butuh bantuanku, kan?” tanya Peri Boherik sambil cengar-cengir nakal. “Boleh saja. Asal kalian berdua mematuhi syaratku.”
“Apa syaratnya?” tanya Arlauna.
“Hmph… penyakit yang ada di tubuh Uwina akan kupindahkan ke tubuh kalian.” Katanya masih sambil cengengesan, “Tidak ada tawar-menawar. Bila tidak mau, ya sudah. Aku pergi saja!” Peri Boherik bersiap-siap akan menghilang.
“Tunggu, Peri. Kami terima syaratmu itu,” seru Bangsawan Morrits dan istrinya.
“Bagus!” sahut peri yang nakal itu. “Kalian boleh mengasuh Uwina tapi tidak boleh mengaku sebagai orangtuanya. Aku dan Peri Anelot akan menggantikan posisi kalian. Kutukan terhadap kalian akan lenyap bila suatu saat Uwina mengakui kalian berdua sebagai orangtuanya. Tapi, apakah ia mau mengakui kalian yang berwajah buruk, ha, ha, ha…”

Begitulah, demi kesembuhan putri yang mereka sayangi, Bangsawan Morrits dan istrinya rela berkorban. Wajah Bangsawan Morrits yang tampan berubah jadi menyeramkan. Matanya melotot dan suaranya serak seperti suara kodok. Sedangkan kulit Arlauna yang putih mulus kini ditumbuhi sisik-sisik kasar. Walaupun menderita, mereka berdua tidak pernah mengeluh karena setiap hari Uwina ada di dekat mereka. Tentu saja Uwina tidak mengetahui bahwa dua orang buruk rupa yang selalu mengasuh dan merawatnya dengan penuh kasih sayang itu adalah orang tua kandungnya. Pelayan-pelayan di rumah itu pun cuma tahu bahwa dua orang itu sudah dipercaya oleh majikan mereka untuk mengasuh Uwina.

Suatu hari Uwina kecil bertanya pada pengasuhnya, “Kenapa Papa dan Mama tidak pernah mengajakku bermain?”
“Papa dan mamamu harus bekerja, Uwina.” Jawab pengasuhnya dengan suara serak.
“Apakah itu berarti mereka tidak menyayangiku?” tanya Uwina lagi.
“Tentu saja mereka sayang padamu. Tidak ada orang tua yang tidak menyayangi anaknya. Kalau Uwina rajin belajar dan tidak cengeng, pasti Papa dan Mama akan mengajak bermain.” Kata pengasuh yang badannya bersisik dengan bijaksana. “Percayalah, Uwina. Burung yang kecil saja mau dan suka bermain dengan anaknya, apalagi orang tuamu yang memiliki anak semanis kamu.”

Lima belas tahun sudah umur Uwina. Dia tumbuh menjadi gadis cilik yang disukai semua orang. Dia selalu memberi nasihat kepada teman-temannya dengan tutur kata yang lemah lembut, sehingga tak ada yang merasa tersinggung karena teguran dan nasihatnya.

Suatu hari tersiar kabar bahwa Pangeran David, putra mahkota yang baru berumur lima tahun sedang sakit keras. Hal ini dikarenakan tak ada seorang pun yang sanggup memenuhi permintaan sang putra mahkota. Siapa yang sanggup bila bulan purnama yang dimintanya. Tabib sakti dan badut-badut istana juga tak bisa menyembuhkan dan menghiburnya.

Uwina yang mendengar kabar itu jadi teringat pengalamannya sendiri ketika masih seusia Pangeran David. Maka bergegaslah Uwina ke istana.

Seminggu kemudian, mendadak ada rombongan istana berkunjung ke rumah Bangsawan Morrits. Tentu saja hal ini mengejutkan seluruh penghuni rumah Bangsawan Morrits. Apalagi baginda raja datang sendiri ke situ cuma untuk bertemu dengan Uwina.
“Uwina, aku ingin berterima kasih kepadamu,” kata baginda Raja dengan wajah ceria, “Putraku, Pangeran David sudah sembuh.”

Uwina membungkuk dengan sikap hormat, “Baginda, waktu masih seusia Pangeran David, hamba pun pernah minta diambilkan bulan purnama. Mereka lalu memberi hamba sebutir mutiara. Kata mereka itulah bulan purnama. Hamba pun percaya. Lalu, hamba melakukan hal yang sama terhadap putra Baginda. Kalau hamba waktu itu percaya tentu Pangeran David juga akan percaya, begitu pikir hamba.”
“Tapi bagaimana saat dia melihat bulan kembali bersinar di malam berikutnya. Bukankah dia akan tahu kalau telah dibohongi?”

Uwina tersenyum, “Benar. Itu juga pernah hamba alami. Tapi mereka mengatakan bahwa bunga yang telah dipetik kelak pasti berbunga lagi. Gigi yang telah tanggal juga dapat tumbuh lagi. Oleh karena itu bulan yang telah diambil pun pasti ada yang menggantikan,” jawab Uwina. “Hamba rasa itu jawaban yang paling cocok untuk anak seusianya. Bila dewasa kelak, Pangeran David pasti lebih bijaksana. Saat itu dia pun akan tahu bahwa tidak mungkin manusia mengambil bulan purnama.”

Mendengar penjelasan tersebut Baginda Raja mengangguk-angguk puas. Sungguh bijaksana gadis kecil ini, pikir Baginda Raja kagum. Kemudian, “Siapakah ‘mereka’ yang mengajarkan semuanya itu kepadamu?” tanyanya.
“Mereka adalah orang tua hamba, Baginda.” Jawab Uwina.
“Ooo… mereka berdua inikah orang tuamu?” Baginda Raja menunjuk Bangsawan Morrits dan Arlauna yang palsu.
“Orang tua bukanlah orang yang melahirkan anaknya saja tapi tidak merawat dan mengasuhnya. Orang yang merawat, mengasuh, mengajarkan hal-hal bijaksana pada anak itulah yang lebih pantas disebut sebagai orang tua. Mereka berdua memang orang yang melahirkan hamba, Baginda. Tapi yang lebih pantas disebut orang tua hamba adalah kedua orang ini. Merekalah yang mengajarkan banyak hal pada hamba,” kata Uwina sambil memeluk kedua orang pengasuhnya yang buruk rupa.

WHUUZZ!! DHUARR!!! Tiba-tiba dua gulungan sinar putih menyelubungi kedua pengasuh Uwina dan dalam sekejap mereka kembali ke wujud asli, yaitu Bangsawan Morrits dan Arlauna. Pengaruh sihir telah lenyap bersamaan dengan pengakuan Uwina tadi.
“Ha, Ha, Ha, … kamu benar-benar beruntung, Morrits. Tapi aku belum menyerah,” tawa Bangsawan Morrits yang palsu menggetarkan seisi rumah. Sebelum orang-orang menyadari apa sebenarnya yang telah terjadi, Bangsawan Morrits dan Arlauna palsu langsung menggabungkan diri dengan yang asli. Orang-orang tidak tahu mana yang asli dan mana yang palsu. Cuma Uwina yang tampak tenang-tenang saja, katanya, “Aku tahu ada peri-peri nakal yang menyamar menjadi orang tuaku. Baiklah. Kini aku akan menguji kalian berempat. Dan peri-peri nakal harus berjanji tidak akan mengganggu kami lagi bila kalian gagal dalam ujian nanti.”

Orang lain yang ada di situ, termasuk Baginda Raja, bertanya-tanya apa yang akan dilakukan oleh Uwina untuk mendapatkan kedua orang tuanya kembali.
“Mama berdua, aku minta kalian memelukku secara bergantian,” pinta Uwina.

Meskipun heran dengan permintaan itu, keduanya memeluk Uwina. Setelah ‘mama’ kedua telah melepaskan pelukannya, tanpa ragu lagi Uwina segera menggenggam tangan ‘mama’ yang pertama memeluknya, katanya sambil tersenyum, “Inilah mamaku yang asli karena dia memeluk sambil membelai rambutku dengan lembut. Sedangkan kau memeluk pinggangku keras sekali,” tuding Uwina pada ‘mama’ yang lainnya. “Kau memang tak pernah tahu bagaimana cara memeluk seorang anak karena kau memang bukan mamaku.”

Menyadari penyamarannya telah terbongkar, Arlauna palsu yang merupakan jelmaan Peri Anelot langsung menghilang. Suaranya saja yang masih terdengar, “Peri Boherik lebih baik kau pun juga pergi dari sini. Sia-sia saja kamu menghalangi kasih sayang antara orang tua dan anak seperti mereka!”
“Jangan kuatir, aku pasti bisa mengalahkan si Morrits!” teriak Bangsawan Morrits yang palsu dengan spontan.

Grrr!! Orang banyak tertawa menyaksikan kebodohan bangsawan palsu yang tak sengaja membuka kedoknya sendiri. Karena malu yang tak terkira, bangsawan palsu itu langsung kabur dari rumah Bangsawan Morrits. Peri Boherik yang usil kapok menggoda manusia lagi. Dia berjanji kalau menolong orang lain ya tolong saja, tidak usah pakai prasyarat segala. Dia tidak mau lagi dikatai peri yang usil tapi tolol.

Kini Uwina hidup bahagia bersama orang tua kandungnya. Peri-peri usil tidak ada yang berani mengganggu lagi. Mereka rupanya segan mengusili orang yang pandai seperti Uwina. Jangan-jangan malah akan mempermalukan diri sendiri. Selain itu, Uwina kini diangkat menjadi saudara angkat Pangeran David dan dia mengajarkan pada Pangeran David semua ilmu yang diperoleh dari orang tuanya.

Pengorbanan Bangsawan Morrits dan Arlauna tidak sia-sia karena kini Uwina dikenal orang sebagai “Putri Uwina yang bijaksana”.

(SELESAI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar