Dongeng – Pangeran Yang Membalas Budi

Kisah dari Estonia.

Suatu ketika raja Kungla tersesat di hutan. Sudah berjam-jam ia mencoba mencari jalan keluar namun belum juga berhasil. Tiba-tiba di hadapannya muncul seorang kakek tua.
“Apa yang kau cari di tengah hutan begini kawan? Hutan ini penuh dengan binatang buas yang sangat berbahaya,” katanya.
“Aku tersesat dan sedang mencari jalan keluarnya,” jawab Raja.
“Aku dengan senang hati akan membantumu kawan,” kata orang tua itu. “Dengan syarat kau harus memberikan apapun yang kau lihat pertama kali saat kau masuk rumahmu.”
“Yang biasa menyambutku adalah anjingku. Dia adalah anjing pemburu yang sangat hebat. Tapi untuk apa aku memberikannya padamu? Aku akan keluar dari hutan ini cepat atau lambat,” kata Raja.
Orang tua tersebut menghilang dari hadapan Raja.

Raja meneruskan pencariannya selama tiga hari tiga malam hingga semua persediaan makanan dan minumannya habis tak bersisa, namun jalan keluar yang dicarinya belum juga ditemukannya. Pada hari keempat orang tua yang sama kembali muncul di hadapan raja.
“Sekarang apakah kau mau memberikan apapun yang pertama kau lihat saat memasuki rumahmu? Kau tinggal menjawab ya dan aku akan mengantarmu keluar dari hutan ini,” katanya.
Raja masih tetap yakin ia dapat menemukan jalan keluar dari hutan tanpa bantuan Orang tua itu, maka dengan tegas ia kembali menolaknya.

Akhirnya setelah berhari-hari tanpa makan dan minum Raja yang kelelahan dan kelaparan terkapar di tanah.
“Inilah akhir hidupku,” pikirnya.
Tiba-tiba orang tua yang tidak lain adalah jin jahat, muncul kembali di hadapan Raja.
“Jangan bodoh kawan! Begitu berartinyakah anjingmu sehingga kau rela menukarnya dengan nyawamu? Katakan ya dan kau akan pulang dengan selamat!” kata orang tua tersebut.
Raja tidak memiliki pilihan lain selain menerima tawaran tersebut.
“Hidupku jauh lebih berarti daripada anjingku,” pikir raja. “Aku memiliki kerajaan dan rakyatku membutuhkanku. Baiklah, bawa aku pulang!”

Sekejap kemudian raja telah berada di tepi hutan di dekat istananya. Ia segera memacu kudanya menuju istana. Namun yang dilihatnya pertama kali bukanlah anjingnya melainkan putranya yang masih kecil. Putranya dengan senyum lebar merentangkan kedua tangannya menyambutnya. Raja sangat ketakutan. Ia berteriak kepada dayang untuk membawa pergi putranya.

Setelah kemarahannya menyusut, raja segera memerintahkan seorang kepercayaannya untuk menukar putranya dengan seorang anak perempuan miskin. Pangeran segera dibawa pergi ke luar istana dan tinggal di sebuah gubuk sementara gadis kecil miskin itu ditidurkan di ranjang bayi pangeran yang mewah.

Setahun berlalu. Orang tua itu datang menemui raja untuk menagih hadiahnya. Tanpa curiga ia membawa gadis kecil yang ia sangka sebagai putri Raja itu pergi. Raja sangat gembira atas keberhasilan rencananya.

Singkat cerita, pangeran kini tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah. Karena Raja yakin bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan lagi, ia segera memerintahkan untuk membawa pulang pangeran ke istana. Pangeran, yang segera mengetahui bahwa hidupnya telah ditukar dengan seorang gadis yang tak berdosa, merasa marah. Ia memutuskan untuk mencari gadis itu sampai ketemu dan menyelamatkannya.

Suatu hari dengan mengenakan pakaian rakyat jelata, pangeran mengendarai kudanya menuju hutan tempat ayahnya dulu tersesat. Ia membawa sekarung biji kacang di pundaknya. Di tengah hutan ia berpura-pura tersesat dan meratapi nasibnya dengan suara keras.
“Oh malang nian nasibku! Tempat apakah ini dan kenapa tidak ada yang bisa membantuku keluar dari sini? Adakah yang bersedia menolongku?” teriak pangeran.

Dan muncullah di hadapannya, Orang tua berjanggut putih. Orang tua itu menyapa Pangeran dengan ramah, “aku hapal tempat ini dengan baik dan aku bersedia menolongmu asal kau membayarku dengan pantas.”
“Apa yang bisa diberikan oleh orang miskin sepertiku?” tanya pangeran. “Aku tidak punya uang sama sekali, bahkan baju yang kupakai ini adalah milik majikanku.”
Orang tua tua itu memandang kantung kacang di pundak pangeran.
“Kau tidak kelihatan miskin di mataku. Bukankah itu hartamu yang kau gendong di punggungmu?” tanyanya.
“Oh ini hanya sekarung kacang,” kata pangeran. “Bibiku satu-satunya baru saja meninggal kemarin. Ia tidak meninggalkan apapun di rumahnya. Sedangkan kebiasaan di desa itu kita harus memberi suguhan kacang panggang bagi mereka yang menemani jenazah sebelum dikuburkan. Maka aku meminjam sekarung kacang kepada majikanku dan berjanji akan bekerja lembur untuk menebusnya. Lalu aku memutuskan untuk melalui hutan ini, dengan harapan bisa tiba lebih cepat, namun hasilnya aku malah tersesat.”
“Jadi kau hanya seorang diri di dunia ini?” tanya Orang tua itu sambil memamerkan giginya yang buruk, mungkin maksudnya ingin tersenyum tapi jadi lebih mirip menyeringai. “Maukah kau bekerja padaku? Aku sedang mencari seorang pekerja dan aku menyukaimu.”
“Aku tidak keberatan jika kita sepakat dengan pembayarannya. Aku sudah cukup berpengalaman dalam bekerja. Dan bagiku tidak ada bedanya degan siapa aku bekerja. Nah berapa kau akan membayarku?” tanya Pangeran.
“Kau akan mendapatkan makanan segar setiap hari, dan daging dua kali seminggu. Jika aku menyuruhmu pergi ke ladang, kau boleh membawa ikan dan mentega sebagai pelengkap roti. Kau akan memperoleh pakaian yang kau butuhkan dan lebih dari itu tanahku sangat luas hingga kau bisa tinggal dengan leluasa,” kata Orang tua.
“Setuju!” teriak pangeran.

Orang tua itu tampak begitu senang mendengar jawaban pangeran sehingga ia menari-nari dengan penuh semangat.
Mereka berdua memulai perjalanannya. Si Orang tua yang menjadi penunjuk jalan berjalan di depan dengan langkah cepat. Saat malam, mereka tidur di bawah pohon pear yang rimbun lalu kembali meneruskan perjalanan saat pagi tiba. Sorenya mereka sampai di depan sebuah batu besar. Orang tua itu menghentikan langkahnya. Setelah yakin bahwa tidak ada yang memperhatikan mereka, ia bersiul dan menghentakan kakinya ke tanah tiga kali. Batu besar itu bergeser ke samping. Ternyata batu itu merupakan pintu rahaa ke sebuah tempat di bawah tanah.
“Ikuti aku,” teriaknya sambil menarik tangan pangeran.

Kegelapan menyergap mereka. Pangeran tidak bisa melihat apa-apa tapi tampaknya jalan yang mereka tempuh semakin lama semakin jauh dari permukaan bumi. Kini mereka tiba di sebuah ruangan yang terang. Tapi sinar itu pasti bukan dari matahari atau bulan karena tidak ada satupun yang tampak di cakrawala bahkan sepertinya langit pun tak ada. Hanya arak-arakan awan yang aneh melintas lambat di atas kepala mereka. Pohon, rerumputan, binatang, air dan tanahnya tampak berbeda dari biasanya. Tapi yang paling aneh adalah keheningan yang menyelimuti tempat itu. Bahkan langkah kaki mereka pun tak terdengar. Burung-burung yang bertenggeran di dahan-dahan pohon mengangguk-anggukan kepalanya seolah-olah sedang bersiul, anjing mebuka mulutnya seakan-akan menyalaki mereka, namun tak ada suara yang terdengar. Air tejun, daun-daun yang tertiup angin bergerak tanpa suara. Ketika pangeran mencoba berbicara, suaranya tersangkut di tenggorokan. Keheningan itu membuat bulu kuduk pangeran meremang.

Akhirnya, di kejauhan mulai terdengar suara-suara. Sepertinya sebentar lagi mereka akan keluar dari tempat seram itu. Suara ringkikan kawanan kuda dan gemericik air menyapa mereka.
“Hmmmmmm…aku sudah mendengar suara orang memasak, artinya mereka sudah menunggu kita,” kata Orang tua.
Pangeran memasang telinganya tapi yang ia dengar sepertinya adalah bunyi ratusan gergaji.
“Itu suara dengkur nenekku,” kata Orang tua.

Mereka melanjutkan perjalanan melewati sebuah gunung. Dan di bawah gunung itu tampaklah perkebunan milik si Orang tua. Ada banyak sekali bangunan di sana sehingga suasananya mirip sebuah perkampungan kecil.
Akhirnya mereka tiba di pintu gerbang. Orang tua itu menunjuk kandang anjing kosong di hadapan mereka.
“Masuklah ke dalam kandang itu! Diamlah di situ sementara aku akan berbicara dengan nenekku. Ia biasanya sangat rewel jika ada orang asing datang ke rumahnya,” katanya.
Pangeran merangkak masuk ke dalam kandang tersebut dengan gemetar. Ia mulai menyesali keputusannya.

Beberapa saat kemudian, Orang tua itu kembali.
“Kamu harus mentaati peraturan di rumah ini. Sekali saja kau melanggar, aku tidak segan-segan menghukummu!” katanya.
“Dengarkan dan lakukan semua perintahku! Di rumah ini kau dilarang bersuara kecuali saat kutanya!” tambahnya.

Pangeran mengikuti Orang tua itu masuk ke dalam rumah. Lalu dilihatnya seorang gadis bermata gelap di tengah ruangan itu.
“kalau yang ia sebut nenek itu cantik seperti ini wajahnya, aku tidak keberatan menikahi seluruh keluarganya,” pikir pangeran.
Gadis itu tidak mengatakan apapun saat mereka masuk. Ia sibuk mempersiapkan hidangan untuk makan malam. Lalu setelah siap, ia segera duduk di samping perapian dan mulai merajut. Tidak sedikit pun ia melirik Pangeran.
Orang tua itu segera melahap hidangan di atas meja tanpa mengajak gadis itu ataupun Pangeran padahal makanan itu cukup banyak untuk dimakan selusin orang. Orang tua itu bahkan tidak menunggu atau memanggil nenek yang diceritakannya itu.

“Oke, sekarang kalian berdua bisa menghabiskan sisa makanan ini. Tapi jangan lupa! Sisakan tulangnya buat anjing-anjingku dan cepat bersihkan semuanya setelah selesai!” katanya begitu ia selesai mengunyah.
Pangeran menggernyit. Ia tidak suka harus makan sisa-sisa makanan orang lain. Namun ia senang bisa duduk berdua bersama gadis bermata gelap itu yang diam-diam mulai disukainya. Mereka makan dalam diam, Gadis itu tidak mau membuka mulutnya kecuali untuk menyuap makanannya. Ketika Pangeran berniat menyapanya, gadis itu memasang tampang seolah-olah memintanya menutup mulut.

Sementara Orang tua itu berleha-leha di depan perapian. Dan setelah mereka selesai makan, ia memanggil Pangeran.
“Aku memberimu waktu dua hari untuk beristirahat. Lusa, temui aku. Aku biasanya memberikan tugas kerja di sore hari supaya esoknya ketika aku bangun semua sudah mengerjakan tugasnya masing-masing. Sekarang pergilah tidur. Gadis itu akan menunjukkan kamarmu!” katanya.
Pangeran membuka mulutnya untuk menanyakan sesuatu tetapi Orang tua itu segera membentaknya, “Tutup mulutmu budak! Coba saja melanggar aturanku! Aku akan membuatmu menyesal datang kemari. Sekarang, Pergi!”

Gadis itu menarik Pangeran untuk segera meninggalkan tempat itu. Pangeran hendak mengajukan keberatan namun ia melihat gadis itu menitikkan air mata. Tidak ada pilihan lain selain membiarkan gadis itu membimbingnya menuju tempat ia tidur malam itu.
“Gadis ini pasti bukan putrinya karena ia memiliki hati yang baik. Mungkinkah ia gadis yang diberikan ayahku sebagai penggantiku?” pikir Pangeran.

Malamnya Pangeran tidur dengan gelisah. Ia bermimpi buruk. Monster-monster aneh berdatangan hendak membunuhnya. Namun setiap kali ia nyaris mati, gadis itu selalu datang menyelamatkannya.

Esoknya Pangeran bangun pagi-pagi sekali. Dilihatnya gadis itu telah sibuk bekerja. Sebisa mungkin ia mencoba meringankan pekerjaannya. Ia mengangkat air, membelah kayu, memperbaiki kandang-kandang, menyiangi rumput, hingga menyiapkan perapian. Seharian ia bekerja keras dan seharian itu pula ia tidak bertemu dengan Orang tua yang membawanya.

Setelah makan malam, Pangeran berkeliling untuk melihat-lihat seluruh perkebunan. Anehnya si Orang tua maupun Neneknya tidak ditemukannya dimana-mana. Di istal ada seekor kuda putih dan seekor sapi hitam berkepala putih. Di gudang makanan, puluhan ayam, bebek dan angsa ribut bersuara. Dan masih banyak lagi bangunan-bangunan yang belum ia ketahui fungsinya.

Sore berikutnya ia datang menemui Orang tua untuk menerima tugasnya.
“Tugasmu tidak sulit,” katanya. “Besok kau harus memotong rumput dan berikan untuk makanan kuda putihku selama sehari. Lalu bersihkan kandangnya hingga bersih. Ingat kalau nanti aku temukan tempat makan kudaku kosong atau masih ada kotoran di kandang, hukumannya adalah nyawamu!”
Pangeran mengangguk.
“Mudah sekali,” pikirnya.

Malamnya, si gadis menyelinap ke kamar Pangeran dan menanyakan tugas apa yang harus dilakukan Pangeran.
“Oh, kasihan sekali kau!” katanya setelah mendengar jawaban Pangeran. “Kau tidak akan sanggup melakukannya. Kuda putih itu tidak lain adalah Nenek si pemilik rumah ini. Ia sangat rakus. Bahkan jika ada 20 orang yang bertugas memotong rumput tidak akan sanggup membuatnya kenyang. Dan untuk membersihkan kandangnya diperlukan paling sedikit 10 orang pekerja.
Nah dengarkan dan lakukan apa yang akan kukatakan! Besok saat kau memberi makan kuda itu, bawalah sebatang ranting willow dan ikatkan ke dalam berangus. Pastikan kuda itu melihat apa yang kau lakukan. Lalu bawalah juga sebatang kayu yang cukup besar. Jika kuda itu bertanya untuk apa barang-barang tersebut, katakan seperti ini: ….”
Gadis itu membisikkan kata-kata yang harus diucapkan Pangeran lalu segera menyelinap pergi.

Esoknya Pangeran mengambil sabit dan mulai memotong rumput. Setelah terkumpul cukup banyak, ia segera membawanya ke kandang kuda putih. Sedetik kemudian, rumput itu telah ludes dimakannya dan kandang kuda itu telah penuh dengan kotoran. Pangeran teringat dengan nasihat si gadis. Maka ketika ia kembali membawa setumpuk rumput, ia juga membawa sebatang ranting willow dan sebatang kayu besar. Di depan si kuda, Pangeran mengikatkan ranting pohon wilow ke sebuah berangus.
“Untuk apa berangus itu, budak!” tanya kuda.
“Oh tidak apa-apa! Berangus ini Cuma kugunakan kalau aku melihat kau makan terlalu banyak!” kata Pangeran.
Kemudian setelah selesai membersihkan kandang, Pangeran mulai memotong batang kayu yang dibawanya dan membuat sebuah sumbat besar.
“Untuk apa sumbat itu, budak?” tanya kuda.
“Oh tidak apa-apa. Sumbat ini akan kugunakan jika kulihat kau mengeluarkan kotoran terlalu banyak!” kata Pangeran.
Kuda menghela nafas panjang tanda mengerti. Maka ketika Orang tua memeriksa kandang sore harinya. Ia melihat bahwa rumput-rumput masih menggunung di hadapan kuda dan kandang bersih tanpa satu kotoran pun yang tercecer di lantai.
“Siapa yang telah memberimu ide tentang semua ini?” tanyanya marah.
“Selain otak bodohku, tidak ada seorang pun yang memberiku nasihat,” jawab Pangeran.
Orang tua menggernyit dengan marah namun terpaksa mengakui hasil pekerjaan Pangeran.

Sorenya ia kembali memanggil Pangeran.
“Aku tidak punya tugas yang sesuai untukmu. Tapi karena besok si gadis akan sibuk di rumah, maka kau harus membantunya memerah sapi hitamku. Sebaiknya kau memerah semua air susunya karena jika ada setetes saja air susu yang tersisa, maka nyawamu taruhannya!” katanya.

Seperti kemarin, gadis itu kembali menyelinap ke kamar Pangeran dan menanyakan tugasnya.
“Alangkah kasihannya engkau!” katanya. “Kau tidak akan bisa menghabiskan air susunya meskipun kau memerahnya dari pagi hingga malam, karena air susunya mengalir seperti sungai yang tak pernah kering. Orang tua itu pasti ingin menyingkirkanmu. Tapi jangan khawatir, aku akan menolongmu. Besok saat kau pergi ke kandang, bawalah seember batu bara dan sepasang penjepit besi. Di depan sapi itu, nyalakan batu baranya lalu celupkan penjepit besinya ke dalamnya. Kalau sapi itu bertanya apa yang sedang kau lakukan, katakana ini…”
Gadis itu membisikkan sesuatu di telinga Pangeran lalu bergegas pergi.

Paginya, begitu matahari memperlihatkan sinarnya, Pangeran segera berangkat ke kandang sambil membawa seember batu bara yang membara dan sepasang penjepit besi. Saat sapi melihat jepitan besi yang membara di hadapannya, ia bertanya, “Apa yang kau lakukan budak?”
“Tidak apa-apa! Hanya menghangatkan penjepit ini. Kata orang, ada beberapa sapi yang nakal dan tidak mau membiarkan dirinya diperah hingga tuntas. Nah, aku punya tips istimewa. Dengan menggunakan penjepit panas ini saat memerahnya, aku akan mendapatkan semua air susunya,” jawab pangeran.
Sapi itu memandang Pangeran lalu mendesah tanda ia mengerti. Maka dengan mudah Pangeran memerah sapi tersebut dan saat Orang tua datang memeriksa hasil kerjanya, ia tidak menemukan setetes air susupun yang tersisa.
“Siapa yang telah memberimu ide tentang semua ini?” tanyanya marah.
“Selain otak bodohku, tidak ada seorang pun yang memberiku nasihat,” jawab Pangeran.
Orang tua itu pergi meninggalkan Pangeran dengan marah.

Saat sore tiba ia kembali memanggil Pangeran.
“Aku masih punya beberapa tumpuk jerami kering yang tertinggal di ladang. Yang kau harus lakukan hanyalah menaikkannya ke dalam pedati dan memindahkannya ke dalam gudang sebelum hujan turun. Tapi ingat, jangan sampai ada sehelai jerami yang tertinggal di ladang atau kau akan kehilangan hidupmu,” katanya.

Seperti biasa, gadis itu kembali menemui pangeran untuk menanyakan tugasnya.
“Tugasku kali ini sangatlah gampang,” kata Pangeran sambil tertawa. “Yang harus kulakukan hanyalah menaikan tumpukkan jerami ke dalam pedati dan membawanya ke dalam gudang.”
“Oh kasihan sekali kau pemuda malang,” katan si gadis. “Kau tidak akan bisa menyelesaikannya bahkan meski seluruh penduduk kampung datang membantumu. Setiap kau ambil setumpuk jerami, maka setumpuk jerami akan muncul lagi di bawahnya. Nah dengarkan apa yang harus kau lakukan! Bangunlah sebelum subuh dan bawalah kuda putih itu. Selain itu bawa juga segulung tali yang kuat. Ikatlah tumpukan jerami itu dan ikatkan ujungnya ke kuda putih. Lalu naiklah ke tumpukkan jerami tersebut dan mulailah menghitung dengan keras. Jika kuda itu bertanya apa yang sedang kau lakukan. Katakan ini…”
Gadis itu membisikkannya di telinga Pangeran dan bergegas menyelinap pergi.

Esoknya, pangeran mengambil segulung tali yang paling kuat. Menggiring kuda putih menuju ladang. Setumpuk besar jerami teronggok di tengah ladang. Ia melakukan apa yang diperintahkan si gadis, lalu dipanjatnya tumpukkan jerami itu dan mulai menghitung keras-keras.
“Apa yang kau hitung budak?” tanya kuda.
“Tidak apa-apa,” kata Pangeran. “Aku hanya menghitung jumlah serigala yang sedang menuju kemari. Tapi jumlahnya terlalu banyak, aku tidak bisa menghitung semuanya.”

Mendengar kata serigala, kuda putih itu menghentakan badannya dan mulai berlari secepat angin, membawa serta semua tumpukan jerami. Orang tua itu sangat geram saat melihat semua jerami telah berhasil dipindahkan.
“Siapa yang telah memberimu ide tentang semua ini?” tanyanya marah.
“Selain otak bodohku, tidak ada seorang pun yang memberiku nasihat,” jawab Pangeran.
Orang tua itu mendengus dan menyumpah dengan marah.

Sorenya saat Pangeran menemuinya untuk menerima tugas selanjutnya, ia berkata “Besok kau harus membawa sapiku untuk dimandikan. Awas kalau sampai ia kabur. Nyawamu yang akan menggantinya.”

“Aku pernah melihat gembala yang memandikan seluruh ternaknya. Jadi pasti mudah sekali memandikan seekor sapi saja,” pikir Pangeran.
Tetapi gadis yang mendengar jawaban Pangeran mengenai tugasnya berkata, “Ah sungguh malang nasibmu! Kau tidak akan bisa mengendalikannya. Sapi itu selalu berlari kesana kemari dan kau tidak akan mampu menanganinya. Tapi tenanglah, aku akan membisikan apa yang harus kau lakukan.”

Maka esoknya sebelum ia mengeluarkan sapi itu dari kandang untuk dimandikan, pangeran mengikat si sapi ke tubuhnya dengan tali sutra, kemudian baru menuntunnya ke tempat pemandian. Ia bisa mengerjakan tugasnya dengan mudah. Hal ini membuat Orang tua semakin geram.
“Siapa yang telah memberimu ide tentang semua ini?” tanyanya marah.
“Selain otak bodohku, tidak ada seorang pun yang memberiku nasihat,” jawab Pangeran.
Orang tua itu menggerutu dan pergi.

Saat Pangeran menemuinya lagi sore harinya, ia memberinya sekantung biji gandum dan berkata:
“Besok pagi kau bebas dan boleh beristirahat sepanjang hari. Tapi malamnya kau harus bekerja keras. Sebarkan biji-biji gandum ini. Ia akan tumbuh saat itu juga dan siap untuk dipanen. Segera panenlah. Pisahkan bijinya dengan batangnya lalu rendamlah hingga berkecambah. Kemudian giling dan buatlah bir darinya. Ingat! Bir itu harus sudah bisa kuminum saat aku bangun pagi nanti. Kalau tidak aku akan mengambil nyawamu!”

Pangeran termenung di kamarnya dan mulai menangis, “Nanti malam adalah malam terakhir bagiku. Kali ini dia pasti akan membunuhku. Aku yakin tidak ada manusia yang bisa melakukan pekerjaan mustahil ini.”

Si gadis yang mendengar tangisan Pangeran segera menghampirinya. Dengan sedih Pangeran menceritakan tugas yang harus dilakukannya. Di luar dugaan gadis itu malah tertawa.
“Tenanglah! Kau akan baik-baik saja asal kau melakukan apa yang akan kukatakan. Bawalah kunci ini. Ini adalah kunci gudang makanan nomor 3, tempat Orang tua itu menahan hantu-hantu jahat di dalamnya. Taburkan biji-biji gandum itu dan ulangi perintah Orang tua itu dengan suara keras. Lalu katakana ‘Jika kamu gagal melaksanakan tugasmu maka kalian semua akan mati.”

Pangeran melakukan semua yang dikatakan si gadis lalu ia pergi tidur. Esoknya sepoci bir telah selesai dibuat. Ia membawanya ke hadapan Orang tua yang segera mendesis marah melihat Pangeran berhasil melakukan tugasnya.
“Aku tidak percaya kau mendapatkan ide ini sendiri. Pasti ada orang lain yang membantumu. Baiklah besok kau tidak perlu bekerjaDatanglah ke kamarku besok pagi dengan si Gadis. Aku tahu kalian saling menyukai, maka aku berencana untuk menikahkanmu,” katanya.

“Oh celaka!” kata si gadis setelah Pangeran memberitahukan percakapannya dengan Orang tua. “Dia sudah tahu bahwa aku membantumu dan ia ingin membunuh kita berdua. Kita harus pergi dari sini malam ini juga. Pangeran, pergilah ke kandang sapi. Tebas leher sapi itu dengan sekali tebas lalu belahlah kepalanya. Di dalamnya ada sebuah bola kristal. Bawalah kemari!”

Pangeran bergegas menuju kandang sapid an melakukan tugasnya. Sebutir bola kristal yang bersinar terang keluar dari kepala sapi setelah Pangeran membelahnya. Ia segera membungkusnya dan menyerahkannya pada si gadis yang sudah menunggunya di pintu gerbang.
“Ayo kita harus lari secepatnya,” kata si Gadis. Dengan diterangi sinar yang keluar dari bola kristal tersebut mereka segera melarikan diri.

Orang tua yang bangun keesokan harinya terkejut mengetahui Pangeran dan si Gadis telah melaikan diri. Ia segera memerintahkan hantu-hantu peliharaannya untuk mengejar dan membawa mereka kembali.

Sementara itu Gadis yang melihat bayangan hitam memenuhi langit di kejauhan, tahu bahwa mereka sedang dikejar. Ia berkata kepada bola kristal:

“Dengarlah wahai bola ajaib yang bersinar
Tolonglah kami dan jangan kau tunda
Ubahlah aku menjadi danau
Dan anak muda ini menjadi ikan!”
Sekejap kemudian mereka telah berubah menajdi danau dengan seekor ikan berenang di dalamnya.

Hantu-hantu itu melayang-layang di atas mereka namun karena tidak menemukan buruannya, mereka berbalik kembali.
“Apakah kau melihat sesuatu yang ganjil di perjalanan?” tanya Orang tua.
“Tidak ada,” kata para hantu. “Kami hanya melihat danau dengan seekor ikan di dalamnya.”
“Itulah mereka!” teriak Orang tua dengan marah. “Pergi dan minum air danau itu hingga kering lalu bawa ikannya kemari!”

Pangeran dan gadis masih terus berlari sekuat tenaga. Tiba-tiba gadis yang merasakan kehadiran hantu-hantu itu di kejauhan segera berkata kepada bola kristalnya,

“Dengarlah wahai bola ajaib yang bersinar
Tolonglah kami dan jangan kau tunda
Ubahlah aku menjadi rumpun bunga
Dan anak muda ini menjadi sekuntum mawar!”
Hantu-hantu jahat itu terbang melintasi mereka tanpa suara namun tidak menghiraukan rumpun bunga dengan sekuntum mawar di bawahnya. Mereka kembali kepada tuannya dengan tangan kosong.
“Apakah kau melihat sesuatu yang ganjil di perjalanan?” tanya Orang tua.
“Tidak ada,” kata para hantu. “Kami hanya melihat rumpun bunga dengan sekuntum mawar di tepi hutan.”
“Itulah mereka!” teriak Orang tua dengan marah. “Pergi dan hancurkan rumpunnya lalu bawa mawarnya ke hadapanku!”

Si Gadis segera menghentikan larinya ketika merasakan kehadiran hantu-hantu itu di kejauhan. Ia berkata kepada bola kristalnya:

“Dengarlah wahai bola ajaib yang bersinar
Tolonglah kami dan jangan kau tunda
Ubahlah aku menjadi angina semilir
Dan anak muda ini menjadi seekor lalat kecil!”
Hantu-hantu itu tidak menemukan rumpun bunga dan mawar tunggalnya dan segera kembali kepada tuannya. Sementara itu Pangeran dan Gadis kembali ke bentuk semula.
“Sekarang kita harus lari secepat mungkin karena Orang tua itu pasti akan mengejar kita dan ia bisa mengenali kita meski dalam wujud apapun,” kata Gadis.

Mereka berlari semakin cepat hingga akhirnya mereka sampai di undak-undakkan yang arahnya menuju ke permukaan bumi.
“Cepat! Ia ada di belakang kita!” kata Gadis.
Mereka menaiki undak-undakkan dan di ujungnya sebuah batu besar menghalangi jalan masuk. Gadis berkata kepada batu kristalnya:

“Dengarlah wahai bola ajaib yang bersinar
Tolonglah kami dan jangan kau tunda
Bukalah batu besar ini segera
Tunjukkan kami jalan keluar!”
Batu besar itu menggeser ke samping dan di depan mereka adalah hutan tempat Pangeran terakhir kali melihat matahari. Dari kejauhan mereka mendengar suara Orang tua yang berteriak-teriak marah. Si Gadis segera berkata pada batu kristalnya:

“Dengarlah wahai bola ajaib yang bersinar
Tolonglah kami dan jangan kau tunda
Tutuplah batu besar ini selamanya
Jangan biarkan siapapun membukanya.”
Batu besar itu kembali menutup diiringi jeritan keras Orang tua yang hampir sampai di permukaan. Pangeran dan Gadis menghembuskan nafas lega. Mereka segera meninggalkan tempat itu. Pangeran membawa Gadis itu ke istananya dan beberapa waktu kemudian Pangeran pun menikah dengan Gadis. Merka hidup bahagia hingga akhir hayatnya.

(SELESAI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar