Dongeng – Putri yang Sempurna

Karya Hans Christian Andersen

Dahulu kala, ada seorang pangeran yang menginginkan seorang Putri Raja, tetapi Putri tersebut haruslah sempurna. Dia kemudian melakukan perjalanan mengelilingin dunia hanya untuk mencari putri tersebut, tetapi dia selalu menemukan bahwa ada sesuatu yang tidak sempurna pada setiap Putri Raja yang ditemuinya. Dia menemukan banyak Putri Raja, tapi tak ada yang benar-benar dianggap sempurna oleh Pangeran itu. Dengan putus asa akhirnya dia pulang kembali ke istananya dan merasa sangat sedih karena tidak menemukan apa yang dicarinya.

Suatu malam, terjadi hujan badai yang sangat keras; dimana kilat dan guntur beserta hujan turun dengan deras sekali; malam itu sungguh menakutkan.

Ditengah-tengah badai tiba-tiba seseorang mengetuk pintu istana, dan ayah Pangeran yang menjadi Raja waktu itu, sendiri keluar membuka pintu untuk tamu tersebut.

Seorang Putri yang sangat cantik berdiri di luar pintu, kedinginan dan basah kuyup karena badai pada malam itu. Air mengalir dari rambut dan pakaiannya yang masih basah; mengalir turun ke kaki dan sepatunya. Putri tersebut mengaku bahwa dia adalah Putri yang sempurna.

“Kita akan segera mengetahui apakah yang dikatakan oleh Putri tersebut benar atau tidak,” pikir sang Ratu, tetapi dia tidak berkata apa-apa. Dia masuk ke dalam kamar tidur, mengeluarkan seprei yang mengalas tempat tidur yang akan dipakai oleh sang Putri dan menaruh sebutir kacang polong di atas tempat tidur itu. Kemudian dia mengambil dua puluh kasur dan meletakkannya di atas sebutir kacang tersebut. Malam itu sang Putri tidur di atas ranjang tersebut. Di pagi hari, mereka menanyakan apakah sang Putri tidur nyenyak di malam itu.

“Oh saya sangat susah tidur!” kata sang Putri, “Saya sangat sulit untuk memejamkan mata sepanjang malam! Saya tidak tahu apa yang ada pada ranjang itu, saya merasa berbaring di atas sesuatu yang kasar, dan seluruh tubuh saya pegal-pegal dan memar di pagi ini, sungguh menakutkan!”

Raja dan Ratu langsung tahu bahwa sang Putri ini pastilah putri yang benar-benar sempurna, karena hanya putri yang sempurna dapat merasakan sebutir kacang yang ditempatkan di bawah dua puluh kasur an dilapisi dengan dua puluh selimut. Hanya putri yang benar-benar sempurna mempunyai kulit yang begitu halus.

Pangeran kemudian mengambilnya sebagai istri, dan sekarang dia telah menemukan putri yang selama ini dicarinya.

(SELESAI)

Dongeng – Putri Warna Warni

Di sebuah desa pinggiran hutan, tinggallah seorang janda dengan anak gadisnya yang cantik. Meski berwajah rupawan, gadis itu amat rendah diri. Ia malu karena warna kulitnya sering berubah-ubah. Kalau duduk di atas rumput, kulitnya menjadi hijau. Kalau makan sawo, kulitnya berwarna coklat. Terkena sinar matahari pagi, kulitnya akan menjadi kuning. Gadis itu paling merasa sedih jika ia berada di tempat gelap. Kulitnya seketika menjadi hitam legam. Karena warna kulitnya sering berubah-ubah, ia dijuluki Putri Warna-Warni.

Putri Warna-Warni bersahabat baik dengan seekor Bunglon. Dimana ada Putri Warna-Warni, di sebelahnya selalu ada sahabat karibnya itu. Mereka bersahabat karena memiliki nasib yang sama. Kulit mereka sering berubah-ubah.

Suatu hari, saat bulan purnama bersinar di langit, betapa cantiknya Putri Warna-Warni. Kulitnya putih bersih, berkilau ditimpa cahaya rembulan yang indah.
“Kamu cantik sekali dalam cahaya rembulan, Putri Warna-Warni. Kamu tak ubahnya seperti seorang putri kerajaan,” puji Bunglon sahabatnya.

Putri Warna-Warni tersipu mendengar pujian itu.
“Namun aku akan segera menjadi putri jelek kalau rembulan tak menyinari tubuhku,” kata Putri Warna-Warni sedih. Wajahnya nampak mendung.
“Jangan begitu Putri Warna-Warni. Kau tetap Putri yang baik hati meski kulitmu berubah menjadi merah, kuning, hijau ataupun biru. Hatimu yang mulia tak akan berubah hanya karena perubahan warna tersebut.”
Mendengar kalimat bunglon sahabatnya, Putri Warna-Warni amat terharu.

Tanpa mereka sadari, lewatlah seorang pangeran yang pulang kemalaman sehabis berburu. Ia amat terpesona dan takjub melihat kemolekan Putri Warna-Warni. Belum pernah dia melihat seorang putri secantik itu.
“Wahai Putri cantik, kau tak pantas tinggal di pinggir hutan yang sepi ini. Tinggallah di istanaku. Kau akan kuangkat jadi permaisuriku. Tunggulah tiga hari lagi, pengawalku akan menjemputmu dengan kereta yang ditarik empat ekor kuda putih.”

Hati Putri Warna-Warni berbunga-bunga mendengar perkataan sang pangeran. Sebentar lagi ia akan menjadi permaisuri. Tak lagi hidup miskin, dan tak perlu tinggal di pinggir hutan lagi. Namun si bunglon sangat sedih, karena merasa akan ditinggal sendiri.

Kegembiraan Putri Warna-Warni sampai terbawa ke mimpinya. Ia bermimpi pesta pernikahannya berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Ada berbagai macam hiburan. Berbagai macam makanan dan minuman dihidangkan. Namun sang pangeran tampak kecewa setelah tahu warna kulit permaisurinya berubah-ubah terus. Kadang terlihat cantik, kadang terlihat jelek.

Mimpi itu membuat Putri Warna-Warni gelisah. Keesokan harinya, kembali bermimpi. Seorang pertapa sakti muncul di hadapannya. Pertapa itu berkata,
“Mudah sekali menyembuhkan perubahan warna kulitmu itu Putri Warna-Warni. Makanlah daging Bunglon sahabatmu itu. Maka kulitmu akan normal kembali.”

Putri Warna-Warni menceritakan mimpinya itu kepada Bunglon sahabatnya. Si Bunglon malah tersenyum mendengarnya, dan berkata,
“Mimpiku juga sama dengan mimpimu, Putri Warna-Warni. Seorang pertapa sakti memintaku untuk bersedia memberikan tubuhku buat kesembuhanmu. Aku bersedia membantumu, Putri! Asal hidupmu bahagia bersama Pangeran itu,” ujar Bunglon tulus.
Putri Warna-Warni termenung.
“Ayo, Putri Warna-Warni. Nanti malam, bakarlah tubuhku untuk hidangan makan malammu,” lagi-lagi Bunglon itu menawarkan diri.

Putri Warna-Warni terharu.
“Tidak, Bunglon sahabatku. Aku tidak mau meraih kebahagiaan dengan mengorbankan dirimu. Kau adalah sahabatku yang terbaik. Besok kalau pengawal pangeran itu datang, biarlah kutolak ajakannya. Aku tidak mau menjadi permaisuri. Biarlah aku menjadi Putri Warna-Warni seperti ini saja. Asal kau tetap disampingku, Bunglon sahabatku.”
Dua sahabat itu akhirnya berangkulan bahagia.

(SELESAI)

Dongeng – Putri Uwina

Sudah delapan tahun menikah, Bangsawan Morrits dan Arlauna, istrinya, belum juga dikaruniai anak. Segala usaha sudah mereka tempuh tapi belum juga menampakkan hasil.
“Apalah artinya harta yang berlimpah bila seorang anak pun tidak kumiliki,” keluh pasangan suami istri bangsawan ini.

Arlauna akhirnya mengandung menjelang usia perkawinan mereka yang ke limabelas. Betapa sukacitanya Bangsawan Morrits mengetahui hal ini. Namun, kegembiraan itu ternyata harus bercampur dengan duka ketika Uwina, anak perempuan mereka lahir. Uwina lahir dalam keadaan yang sukar dipercaya. Sebelah matanya melotot dan sekujur tubuhnya ditumbuhi sisik-sisik kasar. Suara tangisnya pun kroarr, kroarr, serak seperti suara kodok. Orang tua mana yang tak sedih menghadapi kenyataan ini. Rasa sayang Bangsawan Morrits dan istrinya terhadap Uwina sama sekali tak berubah. Mereka cuma mengkuatirkan nasib Uwina kelak. Apakah orang-orang tak akan jijik memandangnya?

Sambil menangis, mereka berdua mengadukan nasibnya kepada Peri Anelot. Setelah berkali-kali namanya diserukan barulah Peri Anelot muncul dan dengan lembut dia berkata, “Aku tidak bisa menyembuhkan penyakit putrimu karena memang itu bukan wewenangku untuk melakukannya. Hanya temanku yang bisa. Tapiii….”
“Tapi apa, Peri?” desak Bangsawan Morrits tak sabar.
Peri Anelot berkata ragu, “Temanku, Peri Boherik itu sering mengajukan syarat yang aneh. Aku takut kalian tak sanggup melaksanakan syaratnya nanti.”
“Apa pun yang terjadi nanti, sekarang tolong panggilkan temanmu itu dulu,” pinta Bangsawan Morrits. “Semoga dia kasihan pada kami dan tidak mensyaratkan apa-apa.”

Sekejap kemudian… wuuzz!!! Setelah Peri Anelot merapalkan mantera muncullah Peri Boherik diiringi pusaran angin yang sangat kencang. Tidak seperti peri-peri lain yang tampak anggun, peri yang satu ini malah terlihat urakan. Sayap biru di punggung kirinya pun agak sobek. Entah sayap itu masih bisa dipergunakan untuk terbang atau tidak.

“Aku sudah tahu kenapa aku dipanggil ke sini. Butuh bantuanku, kan?” tanya Peri Boherik sambil cengar-cengir nakal. “Boleh saja. Asal kalian berdua mematuhi syaratku.”
“Apa syaratnya?” tanya Arlauna.
“Hmph… penyakit yang ada di tubuh Uwina akan kupindahkan ke tubuh kalian.” Katanya masih sambil cengengesan, “Tidak ada tawar-menawar. Bila tidak mau, ya sudah. Aku pergi saja!” Peri Boherik bersiap-siap akan menghilang.
“Tunggu, Peri. Kami terima syaratmu itu,” seru Bangsawan Morrits dan istrinya.
“Bagus!” sahut peri yang nakal itu. “Kalian boleh mengasuh Uwina tapi tidak boleh mengaku sebagai orangtuanya. Aku dan Peri Anelot akan menggantikan posisi kalian. Kutukan terhadap kalian akan lenyap bila suatu saat Uwina mengakui kalian berdua sebagai orangtuanya. Tapi, apakah ia mau mengakui kalian yang berwajah buruk, ha, ha, ha…”

Begitulah, demi kesembuhan putri yang mereka sayangi, Bangsawan Morrits dan istrinya rela berkorban. Wajah Bangsawan Morrits yang tampan berubah jadi menyeramkan. Matanya melotot dan suaranya serak seperti suara kodok. Sedangkan kulit Arlauna yang putih mulus kini ditumbuhi sisik-sisik kasar. Walaupun menderita, mereka berdua tidak pernah mengeluh karena setiap hari Uwina ada di dekat mereka. Tentu saja Uwina tidak mengetahui bahwa dua orang buruk rupa yang selalu mengasuh dan merawatnya dengan penuh kasih sayang itu adalah orang tua kandungnya. Pelayan-pelayan di rumah itu pun cuma tahu bahwa dua orang itu sudah dipercaya oleh majikan mereka untuk mengasuh Uwina.

Suatu hari Uwina kecil bertanya pada pengasuhnya, “Kenapa Papa dan Mama tidak pernah mengajakku bermain?”
“Papa dan mamamu harus bekerja, Uwina.” Jawab pengasuhnya dengan suara serak.
“Apakah itu berarti mereka tidak menyayangiku?” tanya Uwina lagi.
“Tentu saja mereka sayang padamu. Tidak ada orang tua yang tidak menyayangi anaknya. Kalau Uwina rajin belajar dan tidak cengeng, pasti Papa dan Mama akan mengajak bermain.” Kata pengasuh yang badannya bersisik dengan bijaksana. “Percayalah, Uwina. Burung yang kecil saja mau dan suka bermain dengan anaknya, apalagi orang tuamu yang memiliki anak semanis kamu.”

Lima belas tahun sudah umur Uwina. Dia tumbuh menjadi gadis cilik yang disukai semua orang. Dia selalu memberi nasihat kepada teman-temannya dengan tutur kata yang lemah lembut, sehingga tak ada yang merasa tersinggung karena teguran dan nasihatnya.

Suatu hari tersiar kabar bahwa Pangeran David, putra mahkota yang baru berumur lima tahun sedang sakit keras. Hal ini dikarenakan tak ada seorang pun yang sanggup memenuhi permintaan sang putra mahkota. Siapa yang sanggup bila bulan purnama yang dimintanya. Tabib sakti dan badut-badut istana juga tak bisa menyembuhkan dan menghiburnya.

Uwina yang mendengar kabar itu jadi teringat pengalamannya sendiri ketika masih seusia Pangeran David. Maka bergegaslah Uwina ke istana.

Seminggu kemudian, mendadak ada rombongan istana berkunjung ke rumah Bangsawan Morrits. Tentu saja hal ini mengejutkan seluruh penghuni rumah Bangsawan Morrits. Apalagi baginda raja datang sendiri ke situ cuma untuk bertemu dengan Uwina.
“Uwina, aku ingin berterima kasih kepadamu,” kata baginda Raja dengan wajah ceria, “Putraku, Pangeran David sudah sembuh.”

Uwina membungkuk dengan sikap hormat, “Baginda, waktu masih seusia Pangeran David, hamba pun pernah minta diambilkan bulan purnama. Mereka lalu memberi hamba sebutir mutiara. Kata mereka itulah bulan purnama. Hamba pun percaya. Lalu, hamba melakukan hal yang sama terhadap putra Baginda. Kalau hamba waktu itu percaya tentu Pangeran David juga akan percaya, begitu pikir hamba.”
“Tapi bagaimana saat dia melihat bulan kembali bersinar di malam berikutnya. Bukankah dia akan tahu kalau telah dibohongi?”

Uwina tersenyum, “Benar. Itu juga pernah hamba alami. Tapi mereka mengatakan bahwa bunga yang telah dipetik kelak pasti berbunga lagi. Gigi yang telah tanggal juga dapat tumbuh lagi. Oleh karena itu bulan yang telah diambil pun pasti ada yang menggantikan,” jawab Uwina. “Hamba rasa itu jawaban yang paling cocok untuk anak seusianya. Bila dewasa kelak, Pangeran David pasti lebih bijaksana. Saat itu dia pun akan tahu bahwa tidak mungkin manusia mengambil bulan purnama.”

Mendengar penjelasan tersebut Baginda Raja mengangguk-angguk puas. Sungguh bijaksana gadis kecil ini, pikir Baginda Raja kagum. Kemudian, “Siapakah ‘mereka’ yang mengajarkan semuanya itu kepadamu?” tanyanya.
“Mereka adalah orang tua hamba, Baginda.” Jawab Uwina.
“Ooo… mereka berdua inikah orang tuamu?” Baginda Raja menunjuk Bangsawan Morrits dan Arlauna yang palsu.
“Orang tua bukanlah orang yang melahirkan anaknya saja tapi tidak merawat dan mengasuhnya. Orang yang merawat, mengasuh, mengajarkan hal-hal bijaksana pada anak itulah yang lebih pantas disebut sebagai orang tua. Mereka berdua memang orang yang melahirkan hamba, Baginda. Tapi yang lebih pantas disebut orang tua hamba adalah kedua orang ini. Merekalah yang mengajarkan banyak hal pada hamba,” kata Uwina sambil memeluk kedua orang pengasuhnya yang buruk rupa.

WHUUZZ!! DHUARR!!! Tiba-tiba dua gulungan sinar putih menyelubungi kedua pengasuh Uwina dan dalam sekejap mereka kembali ke wujud asli, yaitu Bangsawan Morrits dan Arlauna. Pengaruh sihir telah lenyap bersamaan dengan pengakuan Uwina tadi.
“Ha, Ha, Ha, … kamu benar-benar beruntung, Morrits. Tapi aku belum menyerah,” tawa Bangsawan Morrits yang palsu menggetarkan seisi rumah. Sebelum orang-orang menyadari apa sebenarnya yang telah terjadi, Bangsawan Morrits dan Arlauna palsu langsung menggabungkan diri dengan yang asli. Orang-orang tidak tahu mana yang asli dan mana yang palsu. Cuma Uwina yang tampak tenang-tenang saja, katanya, “Aku tahu ada peri-peri nakal yang menyamar menjadi orang tuaku. Baiklah. Kini aku akan menguji kalian berempat. Dan peri-peri nakal harus berjanji tidak akan mengganggu kami lagi bila kalian gagal dalam ujian nanti.”

Orang lain yang ada di situ, termasuk Baginda Raja, bertanya-tanya apa yang akan dilakukan oleh Uwina untuk mendapatkan kedua orang tuanya kembali.
“Mama berdua, aku minta kalian memelukku secara bergantian,” pinta Uwina.

Meskipun heran dengan permintaan itu, keduanya memeluk Uwina. Setelah ‘mama’ kedua telah melepaskan pelukannya, tanpa ragu lagi Uwina segera menggenggam tangan ‘mama’ yang pertama memeluknya, katanya sambil tersenyum, “Inilah mamaku yang asli karena dia memeluk sambil membelai rambutku dengan lembut. Sedangkan kau memeluk pinggangku keras sekali,” tuding Uwina pada ‘mama’ yang lainnya. “Kau memang tak pernah tahu bagaimana cara memeluk seorang anak karena kau memang bukan mamaku.”

Menyadari penyamarannya telah terbongkar, Arlauna palsu yang merupakan jelmaan Peri Anelot langsung menghilang. Suaranya saja yang masih terdengar, “Peri Boherik lebih baik kau pun juga pergi dari sini. Sia-sia saja kamu menghalangi kasih sayang antara orang tua dan anak seperti mereka!”
“Jangan kuatir, aku pasti bisa mengalahkan si Morrits!” teriak Bangsawan Morrits yang palsu dengan spontan.

Grrr!! Orang banyak tertawa menyaksikan kebodohan bangsawan palsu yang tak sengaja membuka kedoknya sendiri. Karena malu yang tak terkira, bangsawan palsu itu langsung kabur dari rumah Bangsawan Morrits. Peri Boherik yang usil kapok menggoda manusia lagi. Dia berjanji kalau menolong orang lain ya tolong saja, tidak usah pakai prasyarat segala. Dia tidak mau lagi dikatai peri yang usil tapi tolol.

Kini Uwina hidup bahagia bersama orang tua kandungnya. Peri-peri usil tidak ada yang berani mengganggu lagi. Mereka rupanya segan mengusili orang yang pandai seperti Uwina. Jangan-jangan malah akan mempermalukan diri sendiri. Selain itu, Uwina kini diangkat menjadi saudara angkat Pangeran David dan dia mengajarkan pada Pangeran David semua ilmu yang diperoleh dari orang tuanya.

Pengorbanan Bangsawan Morrits dan Arlauna tidak sia-sia karena kini Uwina dikenal orang sebagai “Putri Uwina yang bijaksana”.

(SELESAI)

Dongeng – Putri Tidur

Karya Brothers Grimm

Dahulu kala, terdapat sebuah negeri yang dipimpin oleh raja yang sangat adil dan bijaksana. Rakyatnya makmur dan tercukupi semua kebutuhannya. Tapi ada satu yang masih terasa kurang. Sang Raja belum dikaruniai keturunan. Setiap hari Raja dan permaisuri selalu berdoa agar dikaruniai seorang anak. Akhirnya, doa Raja dan permaisuri dikabulkan. Setelah 9 bulan mengandung, permaisuri melahirkan seorang anak wanita yang cantik. Raja sangat bahagia, ia mengadakan pesta dan mengundang kerajaan sahabat serta seluruh rakyatnya. Raja juga mengundang 7 penyihir baik untuk memberikan mantera baiknya.

“Jadilah engkau putri yang baik hati”, kata penyihir pertama. “Jadilah engkau putri yang cantik”, kata penyihir kedua. “Jadilah engkau putri yang jujur dan anggun”, kata penyihir ketiga. “Jadilah engkau putri yang pandai berdansa”, kata penyihir keempat. “Jadilah engkau putri yang panda menyanyi,” kata penyihir keenam. Sebelum penyihir ketujuh memberikan mantranya, tiba-tiba pintu istana terbuka. Sang penyihir jahat masuk sambil berteriak, “Mengapa aku tidak diundang ke pesta ini?”.

Penyihir terakhir yang belum sempat memberikan mantranya sempat bersembunyi dibalik tirai. “Karena aku tidak diundang, aku akan mengutuk anakmu. Penyihir tua yang jahat segera mendekati tempat tidur sang putri sambil berkata,”Sang putri akan mati tertusuk jarum pemintal benang, ha ha ha ha…..”. Si penyihir jahat segera pergi setelah mengeluarkan kutukannya.

Para undangan terkejut mendengar kutukan sang penyihir jahat itu. Raja dan permaisuri menangis sedih. Pada saat itu, muncullah penyihir baik yang ketujuh, “Jangan khawatir, aku bisa meringankan kutukan penyihir jahat. Sang putri tidak akan wafat, ia hanya akan tertidur selama 100 tahun setelah terkena jarum pemintal benang, dan ia akan terbangun kembali setelah seorang Pangeran datang padanya”, ujar penyihir ketujuh. Setelah kejadian itu, Raja segera memerintahkan agar semua alat pemintal benang yang ada di negerinya segera dikumpulkan dan dibakar.

Enam belas tahun kemudian, sang putri telah tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik dan baik hati. Tidak berapa lama Raja dan Permaisuri melakukan perjalanan ke luar negeri. Sang Putri yang cantik tinggal di istana. Ia berjalan-jalan keluar istana. Ia masuk ke dalam sebuah puri. Di dalam puri itu, ia melihat sebuah kamar yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Ia membuka pintu kamar tersebut dan ternyata di dalam kamar itu, ia melihat seorang nenek sedang memintal benang. Setelah berbicara dengan nenek tua, sang Putri duduk di depan alat pemintal dan mulai memutar alat pemintal itu. Ketika sedang asyik memutar alat pintal, tiba-tiba jari sang Putri tertusuk jarum alat pemintal. Ia menjerit kesakitan dan tersungkur di lantati. “Hi… hi…hi… tamatlah riwayatmu!”, kata sang nenek yang ternyata adalah si penyihir jahat.

Hilangnya sang Putri dan istana membuat khawatir orang tuanya. Semua orang diperintahkan untuk mencari sang Putri. Sang putri pun ditemukan. Tetapi ia dalam keadaan tak sadarkan diri. “Anakku ! malang sekali nasibmu…” rata Raja. Tiba-tiba datanglah penyihir muda yang baik hati. Katanya, “Jangan khawatir, Tuan Putri hanya akan tertidur selama seratus tahun. Tapi, ia tidak akan sendirian. Aku akan menidurkan kalian semua,” lanjutnya sambil menebarkan sihirnya ke seisi istana. Kemudian, penyihir itu menutup istana dengan semak berduri agar tak ada yang bisa masuk ke istana.

Seratus tahun yang panjang pun berlalu. Seorang pangeran dari negeri seberang kebetulan lewat di istana yang tertutup semak berduri itu. Menurut cerita orang desa di sekitar situ, istana itu dihuni oleh seekor naga yang mengerikan. Tentu saja Pangeran tidak percaya begitu saja pada kabar itu. “Akan ku hancurkan naga itu,” kata sang Pangeran. Pangeran pun pergi ke istana. Sesampai di gerbang istana, Pangeran mengeluarkan pedangnya untuk memotong semak belukar yang menghalangi jalan masuk. Namun, setelah dipotong berkali-kali semak itu kembali seperti semula. “Semak apa ini ?” kata Pangeran keheranan. Tiba-tiba muncullah seorang penyihir muda yang baik hati. “Pakailah pedang ini,” katanya sambil memberikan sebuah yang pangkalnya berkilauan.

Dengan pedangnya yang baru, Pangeran berhasil masuk ke istana. “Nah, itu dia menara yang dijaga oleh naga.” Pangeran segera menaiki menara itu. Penyihir jahat melihat kejadian itu melalui bola kristalnya. “Akhirnya kau datang, Pangeran. Kau pun akan terkena kutukan sihirku!” Penyihir jahat itu bergegas naik ke menara. Ia menghadang sang Pangeran. “Hai Pangeran!, jika kau ingin masuk, kau harus mengalahkan aku terlebih dahulu!” teriak si Penhyihir. Dalam sekejap, ia merubah dirinya menjadi seekor naga raksasa yang menakutkan. Ia menyemburkan api yang panas.

Pangeran menghindar dari semburan api itu. Ia menangkis sinar yang terpancar dari mulut naga itu dengan pedangnya. Ketika mengenai pangkal pedang yang berkilau, sinar itu memantul kembali dan mengenai mata sang naga raksasa. Kemudian, dengan secepat kilat, Pangeran melemparkan pedangnya ke arah leher sang naga. “Aaaa….!” Naga itu jatuh terkapar di tanah, dan kembali ke bentuk semula, lalu mati. Begitu tubuh penyihir tua itu lenyap, semak berduri yang selama ini menutupi istana ikut lenyap. Di halaman istana, bunga-bunga mulai bermekaran dan burung-burung berkicau riang. Pangeran terkesima melihat hal itu. Tiba-tiba penyihir muda yang baik hati muncul di hadapan Pangeran.

“Pangeran, engkau telah berhasil menghapus kutukan atas istana ini. Sekarang pergilah ke tempat sang Putri tidur,” katanya. Pangeran menuju ke sebuah ruangan tempat sang Putri tidur. Ia melihat seorang Putri yang cantik jelita dengan pipi semerah mawar yang merekah. “Putri, bukalah matamu,” katanya sambil mengenggam tangan sang Putri. Pangeran mencium pipi sang Putri. Pada saat itu juga, hilanglah kutukan sang Putri. Setelah tertidur selama seratus tahun, sang Putri terbangun dengan kebingungan. “Ah… apa yang terjadi…? Siapa kamu…? Tanyanya. Lalu Pangeran menceritakan semua kejadian yang telah terjadi pada sang Putri.

“Pangeran, kau telah mengalahkan naga yang menyeramkan. Terima kasih Pangeran,” kata sang Putri. Di aula istana, semua orang menunggu kedatangan sang Putri. Ketika melihat sang Putri dalam keadaan sehat, Raja dan Permaisuri sangat bahagia. Mereka sangat berterima kasih pada sang Pangeran yang gagah berani. Kemudian Pangerang berkata, “Paduka Raja, hamba punya satu permohonan. Hamba ingin menikah dengan sang Putri.” Raja pun menyetujuinya. Semua orang ikut bahagia mendengar hal itu. Hari pernikahan sang Putri dan Pangeran pun tiba. Orang berbondong-bondong datang dari seluruh pelosok negeri untuk mengucapkan selamat. Tujuh penyihir yang baik juga datang dengan membawa hadiah.

(SELESAI)

Dongeng – Putri Seorang Saudagar

Konon duluuuu sekali, adalah seorang saudagar yang kaya. Dia mempunyai tiga orang putri. Ketiganya berparas cantik. Sulung memiliki tubuh yang ramping. Karena itu dia senang sekali memakai baju yang bagus-bagus. Tengah mempunyai kulit yang halus lembut. Karena itu dia suka memakai perhiasan yang indah-indah. Sedang si Bungsu suaranya sangat merdu. Sifatnya juga lemah lembut. Dia sayang sekali kepada ayahnya.

Suatu hari saudagar itu akan berdagang ke negri seberang. Negeri itu sangat jauh letaknya. Harus melewati hutan dan gurun yang tandus. Di sana banyak berkeliaran perampok.
“Nah!” kata saudagar itu kepada ketiga putrinya. “Apa yang kalian inginkan untuk oleh-oleh nanti?”
“Biasa Yah,” sahut si Sulung. “Saya ingin sebuah baju yang paling cantik yang ada di negri itu.”
“Kalau saya sih minta dibawakan perhiasan yang paling indah yang ada di negri itu,” seru si Tengah.
Bungsu hanya diam. Teringat dia akan mimpinya semalam. Dia merasa cemas, takut kalau apa yang dimimpikannya itu akan menjadi kenyataan.

“Bagaimana Bungsu?” Apa yang kau inginkan?” tanya saudagar itu karena si Bungsu hanya memandangi dirinya saja.
“Saya ingin ayah tidak pergi,” sahut si Bungsu dengan suara pelan.
“Huuuu!” seru si Sulung sebal. “Kalau Ayah tidak pergi bagaimana aku bisa mendapat baju yang cantik!”
“Iya, nih. Kamu bagaimana sih!” seru si Tengah tidak kalah kesal. “Kalau Ayah tidak pergi aku kan tidak bisa memiliki perhiasan yang indah.”

Saudagar itu menepuk bahu si Bungsu tanda mengerti. “Ayah mengerti mengapa kau merasa cemas melepas ayah pergi. Tapi percayalah. Ayah bisa menjaga diri.”

Bungsu menundukkan kepalanya. Ingin rasanya dia menceritakan mimpinya. Tetapi dia takut ditertawakan. Tentu kedua kakanya akan berkata, “Alaa, mimpi itu kan cuma bunga tidur.”

Karena itu setelah ayahnya pergi, Bungsu terus gelisah. Bayangan mimpi itu terus mengganggu pikirannya. Setiap kali memikirkan ayahnya air matanya menitik. Akhirnya dia mengambil keputusan untuk menyusul ayahnya. Diam-diam dia pergi meninggalkan rumahnya.

Dia berjalan menuju luar kota. Setelah seharian berjalan, dia merasa lelah. Dia duduk menyandar di bawah sebatang pohon yang rindang. Pikirannya masih dipenuhi oleh bayangan mimpinya.

“Oooh, seandainya aku menjadi burung, tentu aku bisa lebih cepat menyusul Ayah,” keluhnya. Tak terasa air mata menetes di pipinya. Angin sepoi-sepoi membuat matanya mengantuk. Apalagi badannya sudak capek sekali. Akhirnya dia tertidur lelap. Entah berapa lama dia tidur. Ketika sudah bangun dia merasa ada sesuatu yang aneh di tubuhnya.. Seluruh badannya telah ditumbuhi bulu-bulu. Tangannya berubah menjadi sayap. Dan mulutnya menjadi paruh. Dia tidak bisa lagi berbicara seperti semula. Yang keluar dari mulutnya hanyalah suara siulan yang sangat merdu.

Meskipun begitu Bungsu merasa gembira. Sebab dengan memiliki sayap, kini dia bisa lebih cepat menemukan ayahnya. Dia lalu terbang. Makin tinggi. Makin jauh. Tapi dia belum juga menemukan ayahnya. Dia sudah merasa putus asa ketika tiba-tiba dari kejauhan dia mendengar suara pekik burung gagak. Dia mencoba terbang ke arah itu. Dilihatnya segerombolan burung gagak raksasa terbang mengelilingi sesuatu benda. Bungsu segera mendekati mereka.

Astaga! Pekiknya dalam hati. Itu kuda ayahnya. Sepertinya kuda itu sudah mati. Berarti ayahnya ada di sekitar tempat itu. Dengan rasa cemas dia memeriksa sekitar tempat itu. Akhirnya dia menemukan ayahnya. Tergeletak pingsan di balik segerombolan semak. Tubuhnya terluka. Nampaknya ayahnya telah menjadi korban perampokan. Mungkin sebelum merampok ayahnya disiksa lebih dulu.

Menetes air mata Bungsu melihat keadaan ayahnya itu. Teringat dia akan mimpinya. Apa yang ditakutkannya telah menjadi kenyataan. Dia harus segera mencari pertolongan agar ayahnya bisa diselamatkan.
Bungsu segera terbang mengelilingi gurun itu. Melihat kalau-kalau ada orang yang bisa dimintai pertolongan. Haaa! Ada seorang pemuda gagah yang sedang mengendarai kuda. Nampaknya dia bermaksud beristirahat, sebab kini dia menghentikan kudanya. Memasang kemah. Menurunkan perbekalan yang dibawanya, kemudian memberi kudanya minum dan makan. Nah, sekarang pemuda itu siap menikmati makan siangnya.

Bungsu segera menukik. Menyambar roti yang siap dimasukkan ke mulut pemuda itu. Si pemuda mula-mula kaget dengan kejadian tiba-tiba itu. Tetapi kemudian dia menjadi heran. Karena burung yang telah menyambar rotinya itu tidak segera terbang menjauhinya. Burung itu terbang rendah di hdapannya. Berputar-putar seolah ingin ditangkap.

Pemuda itu menjadi penasaran. Dia berdiri. Mencoba menangkap burung cantik yang kelihatan jinak itu. Tetapi si burung mengelak. Terbang menjauh sedikit lalu berputar-putar kembali. Pemuda itu terus mengikuti burung itu. Dia penasaran. Tak sadar dia telah meninggalkan kemahnya. Kini dilihatnya burung cantik itu hinggap di atas sebuah pohon kecil. Si Pemuda mengendap-endap. Mengulurkan tangan, siap menangkap si burung. Tetapi tiba-tiba dia terbelalak kaget.

“Astaga!” serunya tatkala melihat saudagar yang sedang tergeletak pingsan. Dia segera mengangkat tubuh saudagar itu. Segera dibawanya ke kemahnya. Sementara burung cantik mengikuti dari belakang.

Setelah berada di kemahnya, saudagar itu dirawatnya dengan baik. Luka-lukanya dibersihkan, diberi obat. Pakaiannya yang kotor diganti. Dan ketika saudagar itu siuman, dia menjadi heran.
“Siapa anda?” tanyanya menatap penolongnya.
“Saya kebetulan sedang lewat. Burung itu yang menunjukkan Bapak kepada saya. Rupanya Bapak telah menjadi korban perampok,” sahut pemuda itu.
Saudagar mengangguk. “Yaa … sungguh menyesal saya karena tidak mau mendengar kata-kata anak saya yang bungsu. Padahal dia sudah melarang saya pergi. Akh, dia tentu sangat sedih bila mengetahui keadaan saya sekarang,” kata saudagar itu seraya menitikkan air matanya.

Aneh! Tiba-tiba saja si Bungsu berubah kembali menjadi seorang putri yang cantik. Dia segera memeluk ayahnya dengan gembira.
“Ayah! Syukurlah Ayah selamat,” katanya.
“Astaga! Jadi kau yang telah menunjukkan ayah kepada orang itu?” tanya saudagar itu. “Mengapa kau bisa menjadi burung?”

Bungsu segera mengisahkan kejadiannya. Kemudian dia mengucapkan terima kasih kepada pemuda yang telah menolong ayahnya. Si Pemuda tersenyum.
“Saya kagum sekali mendengar bagaimana besarnya kasih sayangmu kepada ayahmu. Kebetulan saya melakukan perjalanan ini untuk mencari seorang istri. O, ya. Perkenalkan. Saya Pangeran dari negri seberang. Kalau kamu tidak keberatan saya ingin melamar kamu menjadi istri saya.”

Begitulah akhirnya, mereka kawin dan hidup berbahagia. Saudagar itu kembali pulang ke rumahnya tanpa membawa oleh-oleh bagi kedua putrinya yang lain. Namun Bungsu menitipkan sebuah gaun yang cantik dan sepasang perhiasan bagi kedua kakaknya.

(SELESAI)

Dongeng – Putri Senaya Yang Pandai

Dahulu kala, hiduplah Raja Ronas yang adil dan bijaksana. Ia memiliki seorang putri cantik bernama Senaya. Sejak kecil, Putri Senaya suka belajar dan membaca buku. Ia tumbuh menjadi putri yang cerdas.

Putri Senaya memiliki dua hewan peliharaan. Seekor anjing hutan besar bernama Argo dan seekor kera kecil bernama Kima. Putri Senaya sangat menyayangi kedua hewan peliharaannya yang cerdas itu.

Pada suatu hari, kerajaan mereka diserang oleh kerajaan lain. Kerajaan itu diperintah Pangeran Lorka yang bengis dan suka berperang. Karena jumlah pasukan Pangeran Lorka jauh lebih besar, Raja Ronas menderita kekalahan. Ia ditawan di sebuah gua yang gelap. Jalan menuju gua itu gelap dan berliku-liku. Di gua itu ada sekawan semut beracun dan dua ekor kera besar yang buas. Tidak seorang pun bisa keluar dengan selamat bila sudah masuk ke gua itu.

Pangeran Lorka yang jahat terpesona dengan kecantikan Putri Senaya. Ia ingin memperistri Putri Senaya. Tentu saja Putri Senaya tak mau. Tapi ia harus mencari akal untuk menolaknya. Sebab jika langsung menolak, Pangeran Lorka tentu akan membunuhnya. Putri Senaya akhirnya berkata,
“Pangeran Lorka, aku tahu kau sangat pemberani dan pandai!”
“Ha, ha, ha, tentu saja! Aku Pangeran terhebat di dunia. Itu sebabnya kau harus menjadi istriku!” kata Pangeran Lorka congkak.
“Tentu saja, Pangeran. Tapi, syaratnya, anda harus membebaskan ayah saya dulu. Harus anda sendiri, tanpa bantuan prajurid!” ujar Putri Senaya cerdik.
“Ha, ha, ha, itu syarat yang mudah!” Pangeran Lorka tertawa pongah menerima tantangan Putri Senaya.

Keesokan harinya, Pangeran Lorka berangkat menuju gua itu. Ia membawa benang yang sangat panjang dan senjata untuk membunuh kera yang buas. Ia memakai sepatu dari karet agar langkahnya tak terdengar. Putri Senaya yang ikut bersamanya membawa sekantong madu di tangannya. Ketika Pangeran Lorka memasuki gua, diam-diam Putri Senaya mengoleskan beberapa tetes madu ke baju Pangeran Lorka.

Pangeran Lorka masuk ke gua sambil mengulurkan benang yang diikat ke pohon. Dengan demikian, ia tidak akan tersesat dan bisa keluar dari gua itu, pikirnya. Setelah beberapa lama, Putri Senaya memotong benang tersebut, lalu kembali ke istana.

Di dalam gua, Pangeran Lorka tidak sadar benang yang dibawanya sudah putus. Ketika melewati sarang semut ganas, ia berjalan pelan-pelan agar tidak mengganggu kawanan semut itu. Sepatu karetnya tidak menimbulkan bunyi saat melangkah. Tetapi rupanya semut-semut itu mencium bau madu yang dioleskan di bajunya. Semut-semut itu langsung menyerbu Pangeran Lorka. Pangeran jahat itu kelabakan. Ia lari tunggang-langgang mencari jalan keluar. Namun tidak bisa karena benangnya telah putus. Sementara itu, semut-semut itu terus mengikutinya.

Setelah beberapa saat, Pangeran Lorka akhirnya bisa menemukan jalan keluar. Namun ia sudah sangat lusuh dan malu. Pangeran Lorka akhirnya pergi ke tempat jauh, dan tak berani kembali lagi.

Putri Senaya menunggu di istana. Keesokan harinya, Pangeran Lorka tidak kembali. Putri Senaya yakin, Pangeran itu tentu telah jera dan malu untuk kembali. Ia pun berangkat ke gua bersama Argo dan Kima. Putri Senaya membawa dua kantung gula, dua sisir pisang, seikat anggur dan sedikit minyak tanah.

Sebelum memasuki gua, Putri Senaya membasahi ujung gaunnya yang panjang dengan minyak tanah. Waktu ia berjalan di gua, ujung gaun itu menyentuh lantai gua dan meninggalkan bau minyak tanah di lantai. Argo dan Kima mengikuti langkahnya.

Putri Senaya melewati tempat semut-semut yang ganas. Ketika semut-semut itu hendak menyerangnya, mereka mundur ketika mencium bau minyak tanah. Putri Senaya melemparkan sekantung gula ke dekat dinding gua. Semut-semut itu pun langsung menyerbu gula tanpa menghiraukan Putri Senaya lagi.

Putri Senaya melanjutkan langkahnya. Beberapa saat kemudian, terdengar suara mengeram yang keras sekali. Dan tiba-tiba, beberapa meter di depannya berdiri dua ekor kera besar yang siap menerkamnya. Kima bersembunyi ketakutan. Argo menggeram. Ia siap bertarung untuk melindungi Putri Senaya. Tapi Putri Senaya berkata, “Diam Argo!”

Putri Senaya mengeluarkan dua sisir pisang dan anggur yang dibawanya ke arah kera-kera itu. Kera-kera itu langsung memakannya tanpa menghiraukan Putri Senaya lagi. Putri Senaya melajutkan perjalanannya. Sampai akhirnya mereka tiba di suatu tempat yang lapang.

Di tempat itu ada sebuah pintu yang terkunci. Di situlah Raja Ronas ditawan. Kunci pintu itu tergantung di tempat yang tinggi di atas dinding. Putri Senaya meninta Kima mengambilkannya. Dengan lincah Kima memanjat dinding gua, mengambil kunci itu.

Raja Ronas terkejut sekali ketika melihat putrinya sendiri yang membebaskannya.
“Anakku!” serunya. “Bagaimana mungkin kau bisa masuk kemari? Dan bagaimana kita nanti bisa keluar lagi?” katanya cemas.
“Tenanglah, Ayah!” ujar Putri Senaya. “Argo, cepat ikuti bau minyak tanah di lantai!” perintahnya kemudian.

Argo mengerti kata-kata majikannya. Ia mengendus-endus, mengikuti bau minyak tanah yang ditinggalkan ujung gaun putri Senaya tadi. Ketika melewati dua ekor kera buas tadi, Raja Ronas dan Putri Senaya tersenyum. Kedua kera itu tertidur kekenyangan dan mabuk oleh pisang dan anggur tadi. Dan saat melewati kawanan semut ganas, Putri Senaya melemparkan kantung gula yang kedua.

Akhirnya mereka semua tiba di istana dengan selamat. Raja Ronas kembali memerintah negerinya dengan bijaksana. Ia sangat bangga mempunyai seorang putri yang pandai dan cerdik seperti Putri Senaya.

(SELESAI)

Dongeng – Putri Melati Wangi

Di sebuah kerajaan, ada seorang putri yang bernama Melati Wangi. Ia seorang putri yang cantik dan pandai. Di rumahnya ia selalu menyanyi. Tetapi sayangnya ia seorang yang sombong dan suka menganggap rendah orang lain. Di rumahnya ia tidak pernah mau jika disuruh menyapu oleh ibunya. Selain itu ia juga tidak mau jika disuruh belajar memasak. “Tidak, aku tidak mau menyapu dan memasak nanti tanganku kasar dan aku jadi kotor”, kata Putri Melati Wangi setiap kali disuruh menyapu dan belajar memasak.

Sejak kecil Putri Melati Wangi sudah dijodohkan dengan seorang pangeran yang bernama Pangeran Tanduk Rusa. Pangeran Tanduk Rusa adalah seorang pangeran yang tampan dan gagah. Ia selalu berburu rusa dan binatang lainnya tiap satu bulan di hutan. Karena itu ia di panggil tanduk rusa.

Suatu hari, Putri Melati Wangi berjalan-jalan di taman. Ia melihat seekor kupu-kupu yang cantik sekali warnanya. Ia ingin menangkap kupu-kupu itu tetapi kupu-kupu itu segera terbang. Putri Melati Wangi terus mengejarnya sampai ia tidak sadar sudah masuk ke hutan. Sesampainya di hutan, Melati Wangi tersesat. Ia tidak tahu jalan pulang dan haripun sudah mulai gelap.

Akhirnya setelah terus berjalan, ia menemukan sebuah gubuk yang biasa digunakan para pemburu untuk beristirahat. Akhirnya Melati Wangi tinggal digubuk tersebut. Karena tidak ada makanan Putri Melati Wangi terpaksa memakan buah-buahan yang ada di hutan itu. Bajunya yang semula bagus, kini menjadi robek dan compang camping akibat tersangkut duri dan ranting pohon. Kulitnya yang dulu putih dan mulus kini menjadi hitam dan tergores-gores karena terkena sinar matahari dan duri.

Setelah sebulan berada di hutan, ia melihat Pangeran Tanduk Rusa datang sambil memanggul seekor rusa buruannya. “Hai Tanduk Rusa, aku Melati Wangi, tolong antarkan aku pulang,” kata Melati Wangi. “Siapa ? Melati Wangi ? Melati wangi seorang Putri yang cantik dan bersih, sedang engkau mirip seorang pengemis”, kata Pangeran Tanduk Rusa. Ia tidak mengenali lagi Melati Wangi. Karena Melati Wangi terus memohon, akhirnya Pangeran Tanduk Rusa berkata,” Baiklah, aku akan membawamu ke Kerajaan ku”.

Setelah sampai di Kerajaan Pangeran Tanduk Rusa. Melati Wangi di suruh mencuci, menyapu dan memasak. Ia juga diberikan kamar yang kecil dan agak gelap. “Mengapa nasibku menjadi begini ?”, keluh Melati Wangi. Setelah satu tahun berlalu, Putri Melati Wangi bertekad untuk pulang. Ia merasa uang tabungan yang ia kumpulkan dari hasil kerjanya sudah mencukupi.Sesampainya di rumahnya, Putri Melati Wangi disambut gembira oleh keluarganya yang mengira Putri Melati Wangi sudah meninggal dunia.

Sejak itu Putri Melati Wangi menjadi seorang putri yang rajin. Ia merasa mendapatkan pelajaran yang sangat berharga selama berada di hutan dan di Kerajaan Pangeran Tanduk Rusa. Akhirnya setahun kemudian Putri Melati Wangi dinikahkan dengan Pangeran Tanduk Rusa. Setelah menikah, Putri Melati Wangi dan Pangeran Tanduk Rusa hidup berbahagia sampai hari tuanya.

(SELESAI)

Dongeng – Putri dan Tikus

Pada jaman dahulu kala tinggalah raja dengan putrinya yang bernama Safia. Raja dan ratu sangat mencintai Safia. Suatu hari ada tukang sihir yang datang ke istana dan meminta perlindungan. Dia mengatakan bahwa dia adalah ilmuwan yang sedang dikejar-kejar musuh karena menulis buku yang sangat penting dan tidak tahu harus meminta pertolongan kepada siapa lagi.

“Ilmuwan yang baik” kata sang raja, “Kamu akan mendapatkan tempat sesuai keinginanmu, selain itu kamu dapat menyelesaikan pekerjaanmu” kata sang raja kemudian.

Kemudian penyihir itu pergi dengan senangnya menuju kamarnya. Dia berpura-pura melakukan bebagai macam percobaan. Setiap jum’at yang merupakan hari istirahat bagi para pekerja, penyihir memberikan hormat kepada kerjaaan, tapi dia memiliki niat tersembunyi untuk merebut tahta kerajaan.

Suatu hari dia merubah dirinya menjadi wanita tua dan berjalan-jalan di taman kerjaaan, kemudian dia bertemu Safia.

“Tuan putri”, kata penyihir, “Biarkanlah saya menjadi pembantumu, Saya adalah pencuci linen dan sutra terbaik di dunia, dan Saya akan mengerjakan semua pekerjaan jika saya dapat melayani tuan puteri.

“Wanita yang baik,” Kata Putri safia, “Aku merasa bahwa kamu wanita yang malang dan menderita, ayo kita ke tempat pribadiku dan aku akan memberimu beberapa linen untuk dicuci” lanjut putri Safia

Kemudian Penyihir yang jahat itu mengikuti sang putri ke istana, dan sebelum sang putri tahu apa yang sebenarnya terjadi, Dia menyergap sang putri dan memasukkannya ke ke kantong cucian, kemudia penyihir berlari sekuat tenaga membawa putri ke kamarnya. Selanjutnya dia mengucapkan matra-matra sihir, dan penyihir membuat puteri menjadi sekecil boneka, dan meletakkan sang putri di salah satu laci lemarinya.

Pada Jum’at berikutnya, penyihir pergi ke balairung istana seperti biasanya, dan dia menemui semua orang kebingungan mencari putri Safia. “Putri Safia telah menghilang, sang Raja hampir kehabisan akal, dan semua penyihir istana berusaha menemukannya, tetapi tidak ada satupun yang berhasil ” Kata Perdana Menteri.

Penyihir yang licik itu hanya tersenyum, dia tahu bahwa mantranya sangat kuat tidak akan ada yang dapat mengalahkan matra itu sampai dia meninggal.

Keesokan harinya, ratu diculik oleh sang penyihir yang berpura-pura menjadi tukang cuci, dia sekap sang ratu di kantong cuci, dan menyihirnya menjadi boneka. “hahhhahhaa, Aku akan segera menjadi raja dan memerintah kerjaan”, kata sang penyihir

Hari berikutnya, Dia menanti kesempatan untuk menculik sang raja, ditunggunya sang raja sampai tertidur karena kecapekan memikirkan sang ratu yang tiba-tiba menghilang, Dia berubah seperti tukang cuci dan menyihir sang raja menjadi boneka.

Sekarang keluarga kerajaan telah menghilang semua, semua punggawa kerajaan panik dan bingung, mereka mendatangi kamar penyihir dan meminta nasihat dari penyihir.

“Anda adalah orang pintar” kata perdana menteri, “anda tentunya menpunyai kepintaran yang tinggi, berilah petunjuk apa yang harus kami lakukan??” lanjut perdana menteri.

“Kita tunggu sampai raja dan ratu kembali, sementara itu biarkanlah aku yang memerintah” jawab sang penyihir, semua punggawa menyutujuinya.

Penyihir yang keji itu memerintah dengan sangat kejam, setiap orang diperintahkan untuk mengumpulkan semua kekayaannya dan mengumpulkan semua emas yang ada di seluruh negeri.

Dan perpura-pura mencari raja dan ratu dengan mengirimkan pasukan pencari keseluruh negeri. Tetapi tentu saja pencariaan itu tidak membuahkan hasil.

Suatu hari ada seekor tikus menemukan jalan masuk ke lemari dimana putri Safia disembunyikan, dan putri Safia yang dapat berbicara, meskipun telah menjadi boneka berkata “Tikus, tikus lubangilah lemari ini agar aku dapat melarikan diri dari penyihir jahat yang telah menyihirku atau aku akan mati”

“Siapa engkau ??” tanya sang tikus

“Ayahku adalah raja, beliau akan memberimu hadiah, kamu akan mendapatkan keju yang banyak sekali dan tidak akan habis seumur hidup” jawab putri Safia

“Allah Maha pengampun, sang raja telah hilang begitu juga dengan sang ratu dan penyihir telah menduduki tahta sekarang” jawab sang tikus

“Oh tidak” teriak sang putri “Apa yang terjadi dengan mereka?? apakah ayah dan ibuku juga disihir??”

“Tunggulah disini, dan aku akan melihat bagian lain lemari ini. mungkin saja aku dapat menemukan raja dan ratu” lanjut sang tikus. Tikus mencari ke bagian lain lemari dan ia menemukan raja dan ratu menjadi boneka, tetapi mereka dalam kotak yang sangat kuat dan mereka disihir menjadi boneka kayu, karena penyihir menggunakan mantra yang berbeda saat itu.

Kemudian tikus kembali ke tempat putri dan mengatakan kabar yang menyedihkan itu. “Alas,alas” tangis sang putri, “Apa yang harus aku lakukan sekarang, meskipun aku bisa kabur?”

“Putri, aku akan menolongmu, aku akan pergi ke wanita bijaksana yang tinggal di rongga pohon, dan malam ini aku akan kembali dan memberi tahumu apa yang dia katakan” kata sang tikus sambil menenangkan sang putri.

Lalu sang putri sembunyi kembali di lemari dan tikus pun pergi. Di dalam pohon yang besar yang telah hidup berabad-abad hiduplah Wanita tua yang bijaksana, dan tikus meminta nasihat kepadanya,

“Ibu, katakan apa yang harus aku lakukan untuk menolong sang putri yang telah diubah menjadi boneka oleh penyihir, Dia berharap bisa dapat meloloskan diri dari lubang yang akan aku buat, tetapi pada saat itu juga aku menemukan raja dan ratu yang disihir jadi boneka juga.

“Katakan pada sang putri bahwa dia harus disini ketika bulan telah penuh dan aku akan menolongnya” jawab wanita bijaksana.

Sang tikus kembali ketika malam telah turun dan melubangi lemari agar Safia dapat keluar. Karena Safia sangat kecil dengan mudah Ia dapat melewati penjaga. Ketika bulan telah penuh. Putri Safia pergi ke pohon yang ditunjuk oleh tikus.

“Masuklah, putri” kata Wanita bijaksana, “Aku akan menemukan jalan keluar masalahmu dalam buku ajaib”. Sementara itu sang tikus berjaga-jaga diluar pohon

Sambil menunggu Wanita bijaksana mencari-cari jawaban dibuku ajaib. Safia melihat sekeliling isi rongga pohon itu.

“Kamu harus berjalan sampai menemukan persimpangan, kamu akan menemukan perkebunan, carilah kuda yang berwarna orange, naikilah dan bisikkan ceritamu setelah kamu memberi makan dia dengan rumput ajaib ini” kata wanita bijaksana.

“Darimana aku akan mendapat rumput ajaib??” tanya sang putri “Aku akan memberimu” jawab wanita bijaksana sambil mengambil rumput ajaib di laci.

“Putri, ingatlah kamu harus membisikkan ke kuda oranye itu kata-kata ini ” Kuda bawalah aku ke tempat pohon pear tumbuh, kemudian bawalah aku ke dahan yang paling tinggi untuk mengambil buah pear” pesan wanita bijaksana sambil meletakkan buku ajaib di rak kembali.

“Dan kemudian akankah aku kembali ke ukuranku semula??” tanya sang putri.

“Sebelum penyihir itu mati, kamu tidak akan dapat kembali ke ukuran semula” jawab wanita bijaksana

“Kamu harus menaiki kuda orange itu lagi dan pergi ke sumur yang didalamnya tinggal raksasa hijau. Sesampainya engkau disana jatuhkan buah pear itu ke dasar sumur. Jiwa penyihir jahat itu tersimpan di buah pear. Ketika buah pear itu jatuh ke dalam sumur, raksasa hijau akan memakannya dan penyihir itu akan mati” perintah wanita bijaksana kepada sang putri.

“Setelah itu apa yang akan terjadi?” tanya sang putri lagi

“Setelah itu. semua ciptaan penyihir akan kembali ke bentuk semula”. jawab sang wanita bijaksana sambil menyerahkan rumput ajaib kepada sang putri.

Kemudian sang putri berterima kasih kepada wanita bijaksana, dan berpisah dengan tikus sambil berlari menuju ke persimpangan jalan seperti yang diperintahkan sang wanita bijaksana.

Putri melihat kuda orange seperti kata wanita bijaksana, kuda itu memiliki ekor yang cantik sekali dengan warna emas, berdiri di perkebunan siap untuk dinaiki.

“Kuda orange!! kuda orange!!” panggil Safia dengan suara yang pelan. “Ini makanlah rumput ajaib, dan bawalah aku ke pohon pear”

Lalu kuda orange itu menundukkan kepalanya ke Safia dan dia memakan rumput ajaib, selanjutnya dia menunduk lagi agar Safia dapat menaiki lehernya dan dapat duduk dipungung kuda itu. Setelah safia mencapai punggung kuda, kuda orange meringkik dua kali dan berlari secepat angin.

Singkat cerita, Sampailah Safia di taman yang cantik dimana tumbuh pohon cherry, plum, murbei tapi disana cuma ada satu pohon pear.

“Ini dia pohon itu” gumam Safia sambil berdiri di punggung kuda sambil berusaha meraih ranting terdekat. Akhirnya Safia berhasil memetik pear dari dahan yang paling tinggi dan menyimpannya hati-hati di kantongnya.

“Bawalah aku ke sumur raksasa hijau” bisik Safia ke telinga kuda orange. Kuda orange itu meringkik kemudian berlari seperti angin, begitu cepatnya kuda berlari sampai seperti tidak pernah menyentuh tanah.

Akhirnya diantara tiga pohon palem disitulah tempat dimana sumur tempat raksasa hijau tinggal. Di bawah sinar bulan Safia menengok ke dalam sumur. Safia melihat kepala raksasa sebesar labu dengan mata hijau yang besar dan mulut yang besar sekali.

Begitu pear dilemparkan ke dalam sumur, raksasa itu mengunyahnya menjadi lumat dan tiba-tiba Safia menyadari bahwa dirinya tumbuh sedikit demi sedikit dan dia kembalike bentuknya semula dan penyihir yang keji itu mati.

Kuda orange membawa Safia kembali ke persimpangan jalan. Dan sebelum Safia mengucapkan terima kasih tiba-tiba ada sinar kilat menyambar dan kuda itu menghilang dari pandangan mata.

Safia cepat-cepat kembali ke istana. Dia menuju ke ruangan tempat penyimpanan boneka ayah dan ibunya. Safia menemukan Ayah dan ibunya dalam bentuk normal tetapi mereka bingung ketika menyadari bahwa mereka di dalam lemari. Safia buru-buru menceritakan semuanya.

“Panggil kepala prajurit” Perintah sang raja. “Seharusnya penyihir itu di penjara dan kepalanya di penggal!!” tambah sang raja.

Tetapi ketika prajurit sampai di kamar penyihir. mereka menemukan penyihir itu telah mati.

Hari itu menjadi hari yang penuh kegembiraan dan Safia pergi berterima kasih kepada wanita bijaksana yang tinggal di rongga pohon. Tetapi sesampainya disana dia tidak menemukan apapun. Di pohon itu seperti tidak pernah menjadi tempat tinggal. Safia tidak percaya dengan penglihatannya. Dia mencari-cari dengan kebingungan. Dan tiba-tiba seorang pemuda tinggi, tampan, dan berpakai bagus mendekati Safia.

“Hormat saya bagi tuan putri” sapa sang pemuda, “Dahulu saya adalah sang tikus , yang melubangi lemari tempat tuan putri di sekap, tuan putri akhirnya dapat melarikan diri dan melakukan perjalanan untuk menemukan buah pear yang berisi jiwa penyihir.

“Jadi semuanya itu benar, dan ini bukan mimpi!!” sahut Safia sambil terisak. “Aku datang ke sini untuk bertemu wanita bijaksana tapi dia telah pergi.”

“Wanita bijaksana tinggal di pohon yang indah sekali” jelas sang pemuda “dan sekarang mungkin dia telah pindah ke pohon yang lain tanpa meninggalkan jejak” tambah sang pemuda

“Ikutlah denganku agar ayahku dapat mengucapkan terima kasih kepadamu” Safia memohon kepada sang pemuda.

Akhirnya samg pemuda ikut dengan putri, sesampainya di istana pemuda itu menceritakan bahwa dia adalah pangeran yang telah disihir menjadi tikus.

“Maukah kamu tinggak disini dan menikahi putriku, dan kemudian kamu menjadi raja sebagai penggantiku karena aku tidak memiliki putra” pinta sang raja

Dan akhirnya tibalah waktu yang di tunggu-tunggu. Upacara pernikahan Safia dan pangeran selama 7 hari 7 malan, akhirnya Safia dan suaminya hidup bahagia selamanya.

(SELESAI)

Dongeng – Putri Bisu (Silent Princess)

Dongeng dari Turki.

Zaman dahulu kala ada seorang Raja yang memiliki seorang Pangeran. Shahzada, demikian nama pangeran tersebut, memiliki sebuah bola yang terbuat dari emas yang selalu ia mainkan kapan saja.

Suatu hari saat pangeran sedang duduk di pondok peristirahatannya di halaman istana, lewatlah seorang nenek yang hendak mengambil air dari mata air yang terletak di depan gerbang istana. Timbul ide iseng di pikiran Shahzada. Dilemparnya guci nenek tua tadi dengan bola emasnya. Guci itu pun pecah berkeping-keping. Tanpa berkata sepatah pun nenek itu mengambil guci lainnya. Namun guci ini pun pecah karena lemparan bola Shahzada. Nenek tua itu gemetar menahan marah. Tapi karena segan dengan sang Raja maka ia hanya diam dan pergi ke took terdekat untuk mengutang guci baru. Tapi lagi-lagi Shahzada melempar guci itu dengan bolanya hingga pecah. Kini nenek itu benar-benar murka. Dia mengangkat wajahnya ke arah Shahzada.
“Camkan kutukanku ini Pangeran! Aku harap kau akan jatuh cinta kepada Putri bisu!” kutuknya.

Pangeran Shahzada tidak mengerti maksud nenek tua tersebut, tapi kata-katanya terus mengganggu pikirannya. Hal itu memperngaruhi kesehatannya, sehingga Shahzada pun jatuh sakit. Puluhan, dokter, tabib dan dukun telah mencoba menobatinya, namun kesehatannya tak kunjung pulih. Akhirnya suatu malam Raja mendekati putra tunggalnya.

“Anakku, penyakitmu pasti bukan penyakit biasa. Katakan padaku! Apakah akhir-akhir ini ada peristiwa aneh yang menimpamu?” tanya Raja.

Shahzada menceritakan kelakuannya saat memecahkan 3 guci seorang nenek dan kutukan yang dilontarkannya. Lalu Shahzada meminta izin ayahnya untuk pergi mencari Putri Bisu, karena menurutnya hanya dialah yang bisa menyembuhkannya. Dengan berat hati Raja mengijinkan putra kesayangannya pergi dengan ditemani seorang pengawal kepercayaannya.

Singkat cerita, Shahzada dan pengawalnya telah mengembara selama enam bulan. Mereka berjalan siang dan malam dan hanya tidur beberapa saat saja setiap malamnya. Kini mereka tiba di sebuah puncak gunung yang tanah dan bebatuannya bersinar seperti cahaya matahari. Dengan keheranan mereka bertanya pada seorang kakek yang kebetulan lewat.

“Itu karena Putri bisu,” kata si Kakek. “Ia memakai 7 lapis kerudung yang menutupi wajahnya. Tapi sinar kecantikannya tetap memancar dan terpantul di gunung ini.”
“Dimanakah sang putri berada?” tanya Shahzada.
“Jika ka uterus berjalan lurus selama enam bulan lagi, kau akan tiba di istananya,” kata Kakek. “Tapi perlu kuingatkan anak muda! Putri bisu hanyalah julukan. Karena sang Putri sebenarnya hanya tidak mau berbicara. Banyak sudah pemuda yang mencoba membuatnyai bicara tapi tidak berhasil. Malang bagi mereka, karena kematianlah yang harus mereka terima.”

Shahzada tidak gentar mendengar berita tersebut. Ia tetap bertekad untuk menemui sang putri Bisu.

Beberapa waktu kemudian mereka tiba di puncak gunung lainnya. Gunung ini pun sangat aneh karena semua tanah dan bebatuannya berwarna merah darah. Sebuah desa tampak terhampar di kaki gunung tersebut.
“Aku sangat lelah,” kata Shahzada. “Mari kita istirahat dulu di desa di bawah sana. Sekalian kita beli perbekalan.”

Mereka pun masuk ke sebuah warung makan. Pemiliknya menyambut mereka dengan hangat. Shahzada menanyakan kenapa gunung yang baru saja mereka turuni berwarna merah darah.

“Oh itu karena Putri Bisu. Meskipun ia memakai 7 lapis kerudung yang menutupi wajahnya, namun warna bibirnya tetap terpancar di gunung tersebut,” kata pemilik warung. “Tapi anak muda, sudah banyak pemuda yang mencoba membuat sang Putri berbicara tapi semuanya tidak berhasil. Dan kematian adalah hukuman bagi mereka yang gagal.”
“Aku tidak takut,” kata Shahzada. “Katakanlah, berapa jauh lagi istana sang Putri?”
“Tiga bulan perjalanan lagi kau akan sampai di istananya,” kata pemilik warung.

Setelah perjalanan yang sangat melelahkan, pangeran Shahzada dan pengawalnya melihat sebuah gunung lagi. Di puncaknya berdirilah istana yang sangat megah. Istana Putri Bisu.
Istana Putri bisu jika dilihat dari dekat ternyata sangat mengerikan karena dindingnya dibangun dari tulang belulang manusia.

“Kita harus memiliki rencana yang matang untuk bisa membuat sang Putri bicara, atau tulang belulang kita juga akan menjadi bagian dari dinding istana ini,” kata Shahzada. “Mari kita cari penginapan terlebih dulu untuk berpikir!”

Esoknya Shahzada dan pengawalnya pergi berjalan-jalan untuk mencari ide. Di sebuah pasar ia melihat seekor burung bulbul yang cantik. Shahzada segera membelinya dan membawanya ke kamarnya. Suatu ketika saat Shahzada sedang melamun sendirian, ia mendengar seseorang menyapanya.
“Apa yang kau pikirkan wahai Pangeran?”
Shahzada terkejut karena tidak ada orang lain di kamarnya. Ia kemudian menyadari bahwa burung bulbulnya yang berbicara.
“Subhanalloh, ini pasti mukjizat Alloh,” pikir Shahzada.

Ia menceritakan perjalanannya untuk menemui putri Bisu dan kesulitannya menemukan cara untuk membuat sang Putri bicara.

“Jangan khawatir Pangeran, aku akan membantumu. Sang putri memakai 7 lapis kerudung. Tidak ada seorang pemuda pun yang pernah melihat wajahnya, demikian pula sang Putri tidak pernah bisa melihat pemuda yang menemuinya,” kata Bulbul. “Besok bawalah aku ke istana. Dan jika kau telah berada di kamar sang Putri, taruhlah aku di bawah tiang lampu. Lalu sapalah sang Putri. Ia pasti tidak akan menjawabmu. Nah, katakan bahwa karena sang Putri tidak au menjawab maka kau akan berbicara dengan tiang lampu saja. Dan aku akan menjawabnya.”

Maka Shahzada, Bulbul dan pengawalnya pergi menemui ayah putri Bisu di istananya. Ia meminta izin untuk mencoba membuat sang putri berbicara. Shahzada dan Bulbul kemudian diantar ke kamar sang Putri.
“Selamat sore Putri,” kata Shahzada.
Putri Bisu tentu saja tidak menjawab.
“Baiklah karena kau tidak berkenan menjawab, maka aku akan berbicara dengan tiang lampu saja. Mungkin ia lebih punya perasaan daripada anda,” kata Pangeran.
“Apa kabar?” tanya Pangeran kepada tiang lampu.
“Cukup baik. Setelah bertahun-tahun akhirnya ada seseorang yang mau berbicara denganku,” kata Bulbul seolah-olah tiang lampu yang menjawab. “Alloh mengirimmu ke sini dan membuatku bahagia. Maukah kau mendengar ceritaku?”
“Tentu!” kata Shahzada.
“Alkisah ada seorang Shah yang memiliki seorang putri. Tiga orang pemuda telah mengajukan lamaran untuk si gadis kepada Shah. Shah lalu berkata kepada ketiga pemuda tersebut: ‘Siapapun yang memiliki keahlian yang tidak biasa maka ialah yang berhak menikahi putriku.’ Pemuda-pemuda itu lalu pergi untuk mencari guru. Mereka pergi kea rah yang berbeda. Namun sebelumnya mereka berjanji untuk saling bertemu lagi di sebuah mata air setelah sekian bulan. Pemuda pertama belajar berlari cepat. Jika ia berlari, perjalanan 6 bulan bisa ditempuhnya dalam waktu setengah jam saja. Pemuda kedua belajar cara menghilang. Dan pemuda ketiga belajar meracik obat.

Ketiganya kembali dalam waktu yang hampir bersamaan. Pemuda yang bisa menghilang mengatakan bahwa putri Shah sedang sakit keras dan mungkin akan meninggal 2 jam lagi. Pemuda ketiga segera menyiapkan ramuan dan pemuda pertama secepat kilat membawanya kepada si gadis. Ramuan itu sangat manjur. Si gadis tidak jadi meninggal dan Shah segera memanggil ketiga pemuda tersebut.

Nah Pangeran, menurutmu pemuda mana yang pantas mendapatkan si gadis. Menurutku pemuda yang bisa menghilang.”
“Tidak! Menurutku pemuda yang meracik obatnya,” kata Shahzada.
Mereka pun berdebat seru dan saling mempertahankan pendapatnya.

Putri Bisu berkata dalam hatinya, “tidak ada yang ingat dengan jasa pemuda yang telah mengantarkan obatnya.”

Akhirnya karena tidak sabar mendengar perdebatan mereka, Putri berteriak: “Dasar bodoh! Aku akan memberikan gadis itu kepada si pembawa obat. Tanpa dia gadis itu pasti sudah mati!”

Raja segera diberi tahu bahwa Putri Bisu telah mau berbicara. Tapi Putri dengan marah berkata bahwa ia telah ditipu dan ia hanya mau mengaku kalah jika Shahzada bisa membuatnya berbicara sebanyak tiga kali. Karena geram, putri pun menghancurkan tiang lampu di kamarnya.

Sore berikutnya, Shahzada dan Bulbul kembali menemui sang putri di kamarnya. Kali ini Shahzada meletakan sangkar Bulbul di dekat salah satu dinding.
“Selamat sore Putri,” sapa Shahzada.
Putri tidak menjawab sepatah kata pun.
“Baiklah. Karena kau tidak mau menjawab, mungkin lebih baik jika aku mengobrol dengan dinding saja. Apa kabarmu dinding?” kata Shahzada.
“Sangat baik,” jawab Bulbul yang pura-pura menjadi dinding. “Aku senang kau mengajakku bicara. Bagaimana kalau aku menghiburmu dengan sebuah cerita?”
“Dengan senang hati,” kata Shahzada.
“Di sebuah kota tinggalah seorang wanita yang dicintai oleh 3 orang pria sekaligus. Ketiga pria itu adalah: Baldji anak si pembuat madu, Jagdji anak si pembuat lemak, dan Tiredji anak si penyamak kulit. Mereka sering mengunjungi si wanita, namun tidak pernah saling bertemu karena mereka selalu berkunjung pada waktu yang berbeda.

Suatu hari, saat si wanita sedang menyisir rambutnya, ia melihat sehelai uban di kepalanya, ‘celaka! Aku sudah mulai tua. Aku harus segera memutuskan dengan siapa aku akan menikah,’ kata si wanita.

Kemudian ia mengundang ketiga teman prianya untuk datang pada jam yang berbeda. Yang pertama datang adalah Jadgji dan ia menemukan bahwa wanita pujaannya sedang berurai air mata. Ia bertanya kenapa dan si wanita menjawab, ‘ Ayahku telah meninggal dan aku telah menguburkannya di kebun belakang, tapi arwahnya selalu menghantuiku. Jika kau mencintaiku, maukah kau berpura-pura menjadi hantu. Pakailah kain sprei ini dan berbaringlah selam 3 jam di kuburan. Maka ia tidak akan menghantuiku lagi.’

Wanita itu menunjuk sebuah lubang kubur yang telah sengaja ia buat dan Jadgji tanpa ragu-ragu memakai kain sprei itu untuk menutupi tubuhnya dan berbaring di dalam lubang kubur tersebut.

Lalu datanglah Baldji yang juga menemukan wanita itu sedang menangis. Si wanita mengulangi ceritanya tentang kematian ayahnya, lalu memberi Baldji sebuah batu besar; ‘Jika hantu itu datang, pukullah dengan batu ini,’ katanya.

Terakhir datanglah Tiredji. Dia juga bertanya kenapa ia menangis. ‘Bagaimana aku tidak sedih,’ kata si wanita. ‘Ayahku telah meninggal dan telah aku kuburkan di kebun belakang. Tapi ternyata ia punya musuh seorang penyihir dan ia bermaksud mengambil mayat ayahku. Lihat, ia bahkan sudah membongkar kuburannya. Jika kau bisa mengambil mayat ayahku maka aku akan selamat tapi jika tidak…’ Si wanita kembali menangis.

Tiredji segera pergi ke kebun belakang untuk mengambil mayat yang tidak lain adalah Jadgji. Tapi Baldji mengira ada dua hantu yang datang dan memukul Jadgji serta Tiredji. Sementara Jadgji mengira hantu ayah si wanitalah yang memukulnya. Ia melemparkan sprei yang ia pakai dan menubruk Baldji. Mereka bertiga terkejut begitu menyadari keadaan yang sebenarnya dan bersama-sama menuntut penjelasan dari si wanita.
Nah Pangeran, menurutmu siapa yang berhak menjadi suami si wanita? Menurutku Tiredji!” kata Bulbul.
Menurut Shahzada, Baldji lebih berhak karena berada dalam posisi yang lebih berbahaya. Mereka berdebat seru, saling mempertahankan pendapatnya. Putri Bisu yang juga mendengarkan cerita Bulbul sangat kecewa karena mereka melupakan peran Jadgji dan ia segera berteriak mengemukakan pendapatnya.

Raja gembira mendengar putrinya berbicara. “Tinggal satu kali anak muda,” katanya pada Shahzada. Sementara sang Putri sangat kesal karena telah dua kali keceplosan. Maka untuk melampiaskan amarahnya ia segera memerintahkan untuk menghancurkan dinding tempat Bulbul bersandar semalam.

Hari ketiga dan merupakan hari penentuan, Shahzada dan Bulbul kembali datang ke kamar sang Putri. Kali ini Shahzada meletakkan Bulbul di belakang pintu kamar Putri. Seperti biasa Putri menolak membuka mulutnya dan kali ini bahkan ia memunggungi Shahzada. Maka Shahzada berpura-pura mengajak bicara pintu. Seperti hari-hari kemarin, Bulbul menceritakan sebuah cerita.

“Alkisah ada seorang Tukang kayu, seorang Penjahit, dan seorang Sakti yang berkelana bersama. Di sebuah kota, mereka memutuskan untuk menyewa sebuah took dan memulai usaha bersama. Suatu malam saat yang lainnya sedang tidur, Tukang kayu terbangun. Karena tidak bisa tidur lagi, ia iseng memahat sebongkah kayu menjadi sebuah patung wanita yang sangat cantik. Saat patungnya selesai, ia kembali mengantuk dan segera pergi tidur. Tidak berapa lama si Penjahit terbangun. Melihat ada sebuah patung wanita cantik di tengah kamar mereka, ia tergoda untuk membuatkan sehelai pakaian yang sangat indah. Setelah selesai, ia memakaikannya dan kembali tidur. Menjelang pagi si Orang sakti bangun. Ia begitu terpesona melihat patung wanita cantik berpakaian indah tersebut. Maka ia memohon kepada Alloh SWT untuk menghidupkan patung tersebut. Alloh SWT mengabulkan permintaannya dan patung itu menjelma menjadi seorang wanita yang mempesona. Ketika Tukang kayu dan Penjahit bangun serta melihat wanita cantik yang berasal dari patung tersebut, mereka berebut karena masing-masing merasa berhak memilikinya.

Nah Pangeran, siapa menurutmu yang paling berhak?. Menurutku Tukang kayu,” kata Bulbul.
“Tidak bisa, menurutku si Penjahit,” kata Shahzada.

Mereka kembali berdebat seru. Putri bisu bangkit dari tempat duduknya dan dengan marah ia berteriak; “Kalian semua bodoh! Orang sakti itulah yang paling berhak! Wanita itu berhutang nyawa padanya!”

Dan artinya Shahzada berhak menikahi sang Putri karena ia telah tiga kali memecahkan kebisuannya. Maka pesta pernikahan akbar pun digelar selama 40 hari 40 malam. Shahzada secara khusus memanggil nenek yang ia pecahkan kendinya untuk tinggal di istana. Mereka semua hidup bahagia.

(SELESAI)

Dongeng – Putri Aubergine

Dongeng dari India.

Seorang brahmana tua sedang berjalan terseok-seok di tengah hutan. Diedarkannya pandangannya ke seluruh pojok hutan. Tangannya sibuk menyibakkan pohon-pohon kecil di depannya. Sudah seharian kakek ini mencari tumbuhan hutan yang bisa dimakan. Setiap kali dia merasa lelah, ingatannya tertuju pada istrinya yang sedang menunggu di gubuk mereka di pinggir hutan, yang sudah dua hari ini tidak makan. Untunglah hari ini dia menemukan beberapa umbi dan buah yang bisa dibawa pulang untuk santapan mereka. Tiba-tiba saat si kakek memutuskan untuk pulang, dia menemukan sebatang tanaman terung ungu atau orang-orang disana biasa menyebutnya Aubergine. Karena menurutnya tanaman itu akan berguna jika ditanam di pekarangan, maka dia mencabut dan membawanya pulang.

Pohon kecil itu lalu ditanamnya di depan rumah. Setiap hari kakek dan nenek menyiraminya, membersihkan rumput di sekelilingnya dan menjauhkannya dari hama yang mengganggu. Mereka memelihara dan menyayanginya seperti merawat seorang bayi, hingga tanaman itu tumbuh dengan subur.

Akhirnya, sebutir terung yang sangat besar dan cantik keluar dari tangkainya. Buah terung itu berkilauan ditempa sinar mentari pagi. Warnanya ungu dan putih, sangat cemerlang, meyegarkan mata semua yang memandangnya. Sang kakek dan nenek sampai tidak tega untuk memetiknya. Akhirnya buah itu dibiarkannya menggantung di tangkainya berhari-hari. Hingga suatu hari sudah tidak ada lagi persediaan makanan di rumah itu. Dengan terpaksa kakek menyuruh nenek untuk memotong buah terung tersebut untuk dimasak.

Nenek mengambil sebilah pisau di dapur dan pergi ke halaman untuk memotong tangkai buah terung itu. Namun tiba-tiba, “aahh..!” Nenek serasa mendengar seolah-olah ada suara erangan kecil saat pisaunya menyentuh buah terung. Lalu saat dia mulai mengupas buah tersebut, dia mendengar sebuah suara kecil yang sepertinya keluar dari buah yang dikupasnya.
“Hati-hatilah! Tolong berhati-hatilah mengupasnya. Nanti pisaunya bisa melukaiku,” kata suara tersebut.
Nenek merasa takut. Dia mencoba mengupasnya dengan sangat hati-hati, namun tak urung satu goresan kecil membuat terung itu terbelah. Sungguh menakjubkan dari dalamnya keluar seorang gadis kecil yang sangat cantik jelita. Berpakaian satin ungu dan putih. Luar biasa.

Kakek dan nenek sangat bahagia atas anugrah tersebut, terlebih lagi mereka berdua memang tidak memiliki anak satu pun. Maka mereka membesarkannya dan memanggilnya Putri Aubergine. Meski tidak dibesarkan di istana, tapi menurut kakek dan nenek, kecantikan dan kelembutannya tidak kalah dengan putri raja manapun.

Suatu hari seorang pelayan istana tanpa sengaja lewat di depan gubuk brahmana dan melihat putri Aubergine. Betapa dia sangat terpesona dengan kecantikan sang putri. Dia segera melapor kepada tuannya bahwa tidak jauh dari istana ada seorang gadis yang sangat jelita, yang jika tuannya melihatnya dia akan lupa pada semua gadis di dunia. Majikan pelayan itu adalah seorang raja. Dia memiliki seorang permaisuri yang sangat cantik dan tujuh orang putra. Ratu sangat tidak senang mendengar kabar tersebut. Rasa cemburunya memuncak. Dia tidak ingin ada gadis lain yang menandingi kecantikannya dan merebut raja darinya. Dan dia bersumpah akan membunuh putri Aubergine jika gadis itu dibawa ke istana.

Ratu ternyata menguasai ilmu hitam yang jahat. Dengan kata lain dia adalah seorang penyihir. Untuk melaksanakan niatnya, dia sengaja mengundang putri Aubergine ke istana dan berpura-pura terkejut melihat kecantikan sang putri.
“Oh, kau memang terlahir untuk tinggal di istana. Kecantikanmu luar biasa. Mulai saat ini kau harus tinggal di sini bersamaku. Jadilah saudariku,” kata ratu.

Sejak itu putri Aubergine tinggal di istana bersama ratu. Memakai pakaian-pakaian ratu, makan dan minum di tempat yang sama, bahkan kadang-kadang tidur di kamar yang sama. Bagi orang lain yang melihatnya, mereka layaknya adik dan kakak.

Namun Ratu rupanya sejak awal sudah dapat menerka bahwa putri Aubergine bukanlah manusia biasa melainkan seorang peri. Dia harus lebih berhati-hati melaksanakan niat jahatnya.

Suatu malam saat putri sedang tidur, ratu datang ke kamarnya. Dirapalnya sebuah mantra untuk menghipnotis putri, lalu ia bertanya:

“Wahai peri yang cantik! Katakan padaku…
Dimana kau sembunyikan jiwa abadimu..”
Dan dalam tidurnya putri menjawab:

“Di jiwa pangeran tertuamu!
Jika dia mati maka aku pun serta…”
Esoknya ketika ayam belum terbangun dan pangeran masih tertidur, ratu membunuhnya dengan tangannya sendiri. Dia lalu menyuruh seorang pelayan untuk melihat keadaan putri Aubergine. Pelayan itu melaporkan bahwa putri sudah bangun dan dalam keadaan sehat walafiat.

Ratu pun berteriak marah dan menangis karena menyadari mantranya tidak cukup kuat melawan kekuatan peri dan bahwa dia telah sia-sia membunuh anaknya.

Saat malam kembali datang, ratu mengulangi mantranya dan kembali bertanya:

“Wahai peri yang cantik! Katakan padaku…
Dimana kau sembunyikan jiwa abadimu..”
Dan dalam tidurnya putri menjawab:

“Di jiwa pangeran keduamu!
Jika dia mati maka matilah aku…”
Ratu segera membunuh anak keduanya. Tapi ternyata perbuatannya kembali sia-sia, karena esoknya dia melihat putri Aubergine yang menyapanya, pertanda bahwa dia baik-baik saja.

Begitulah kejadian ini berlangsung terus menerus hingga tidak ada lagi anaknya yang tersisia.
Ratu begitu dendam dan marah. Dia bertekad kali ini dia akan mengumpulkan semua kekuatannya supaya bisa mengalahkan putri Aubergine.

Malam itu, saat bulan tertutup awan, ratu dengan semua kekuatan jahatnya mendatangi kamar putri. Setelah merapal mantra terbaiknya dia kembali bertanya:
“Wahai peri yang cantik! Katakan padaku…
Dimana kau sembunyikan jiwa abadimu..”
Putri Aubergine yang malang, kali ini dia tidak bisa menyembunyikan lagi rahasianya, maka dia berkata:

“Di sebuah sungai nun jauh di sana
ada seekor ikan berwarna merah dan hijau,
di dalam ikan itu ada seekor lebah besar,
di dalam lebah itu ada sebuah kotak
dan di dalam kotak itu ada sebuah kalung permata.
Pakailah kalung itu, maka akupun akan mati.”
Ratu berteriak dalam hati. Betapa gembiranya dia. Sebentar lagi riwayat saingannya akan berakhir.

Esoknya, saat raja menemuinya, ratu menjatuhkan diri di hadapan raja dan dengan bercucuran air mata dia mengadukan penderitaannya kehilangan putra-putra kesayangannya. Raja yang mengira anak-anaknya meninggal karena sakit keras mencoba menghibur ratu.
“Apa yang bisa menghibur hatimu wahai ratuku? Apakah kau ingin pergi melihat negeri-neberi yang indah, atau perlukah aku belikan perhiasan-perhiasan yang mahal untukmu?” tanya raja.
“Tidak raja,” ratu menggeleng. “Aku hanya ingin sebuah kalung permata. Tapi dia tidak akan ditemukan di toko-toko permata. Dia ada di suatu tempat khusus!”
Lalu ratu menyebutkan tempat kalung itu berada dan raja segera memerintahkan semua nelayan untuk mencari ikan berwarna merah dan hijau.

Akhirnya setelah sekian lama menunggu, seorang nelayan datang mempersembahkan seekor ikan besar berwarna merah dan hijau, dan di dalam perut ikan itu ada seekor lebah besar dan di dalam lebah itu terdapat kotak yang isinya adalah kalung permata yang berkilauan. Ratu segera memasang kalung itu di lehernya.

Sementara itu putri Aubergine yang menyadari bahwa hidupnya terancam, memutuskan untuk pulang ke rumah ayah dan ibu angkatnya. Dengan sedih dia menceritakan bahwa sebentar lagi dia akan mati. Dia memohon pada sang Brahmana untuk tidak mengubur ataupun membakar mayatnya.
“Baringkanlah aku di tempat tidur yang indah, dandanilah aku dengan pakaian terbaikku, selimuti aku dengan hamparan bunga-bunga musim semi dan bawalah aku ke tengah hutan. Lalu buatkanlah dinding di sekeliling tempat tidurku sehingga tidak ada seorang pun yang bisa melihat ke dalam,” pinta putri.

Maka ketika ratu memakai kalung permata itu di lehernya seketika itu juga putri Aubergine berhenti bernafas. Kedua orang tuanya sangat berduka. Mereka segera melaksanakan keinginan putrinya. Kemudian brahmana itu membawa mayat putri ke hutan di sebelah utara yang lebih lebat dibanding wilayah lainnya.

Ratu mengirim seorang pelayan untuk melihat keadaan putri Aubergine dan segera mengetahui bahwa putri telah tewas namun Brahmana tidak mengubur mayat putrinya melainkan membaringkannya di hutan sebelah utara. Ratu kecewa dan khawatir kalau-kalau suatu saat raja akan menemukan mayat putri Aubergine ketika berburu di hutan. Kini hampir setiap saat raja pergi berburu untuk menghilangkan kesedihannya karena kematian putra-putranya. Dengan cemas ratu selalu menigingatkan raja untuk tidak berburu di sebelah utara. “Roh jahat akan mengganggumu,” katanya. Dan raja berjanji untuk mengingatnya.

Namun suatu hari setelah perburuan yang tiada hasil, raja terpisah dari rombongannya dan tanpa disadarinya telah tersesat ke sebelah utara. Di tengah rimbunan pephonan itu raja menemukan dinding tinggi tanpa pintu yang seolah-olah melindungi sesuatu yang berharga di dalamnya. Karena penasaran raja memanjat dinding itu dan menengok ke dalamnya. Oh betapa raja tidak percaya melihat di dalam ruangan itu terbaring seorang gadis yang cantik tiada tara seolah sedang tertidur pulas. Maka raja pun mendekati sang putri dan mencoba membangunkannya, namun tidak berhasil.
“Dia tidak mungkin mati,” pikir raja.Seharian itu raja menghabiskan waktunya untuk berdoa memohon supaya Tuhan mengijinkan mata gadis itu terbuka, namun tetap sia-sia. Akhirnya ketika matahari mulai tenggelam, raja pulang ke istananya dengan kecewa. Tapi, betapa raja tidak bisa melupakan wajah cantik sang putri. Seolah pagi tak kunjung datang. Dan ketika matahari baru membuka matanya, raja telah kembali memacu kudanya ke tempat bidadarinya bersemayam.
Demikianlah setahun telah berlalu. Dan setiap hari raja melewatkan siangnya menemani kekasihnya, berharap suatu saat sang gadis mau membuka matanya. Suatu hari saat dia kembali ke tengah hutan, dia menemukan seorang bayi laki-laki yang tampan terbaring di samping sang putri. Setelah beberapa waktu dan si bayi mulai belajar berbicara, raja bertanya apakah ibunya sudah meninggal
“Tidak,” katanya. “Ibuku akan bangun setiap malam datang dan mengasuhku seperti engkau mengasuhku sepanjang siang.”
“Lalu, knapa ibumu selalu tertidur saat siang hari?” tanya raja.
”Itu karena kalung permata yang dipakai oleh ratu. Setiap malam dia akan menanggalkannya, dan saat itulah ibuku kembali hidup,” katanya.

Apa hubungan ratu dengan putri ini, pikir raja. Lalu dia meminta anak kecil itu untuk menanyakan anak siapakah dia sebenarnya. Kemudian raja kembali ke istananya.

Esoknya anak itu menjawab: “Ibuku bilang bahwa aku adalah anakmu, yang dikirim untuk menghiburmu karena telah kehilangan ketujuh putramu. Mereka telah dibunuh dengan kejam oleh ratu karena cemburu pada ibuku, putri Aubergine.”
Raja terkejut dan murka mendengar kabar pembunuhan yang kejam itu. Dia meminta anak kecil itu untuk menanyakan hukuman apa yang pantas untuk ratu atas segala kejahatannya, dan bagaimana kalung yang dipakai ratu bisa membuatnya kembali hidup.

Hari berikutnya anak itu menjawab: “Menurut ibu, hanya aku yang bisa mengambil kalung itu. Maka nanti malam bawalah aku ke istana. Maka raja membawa anak itu ke istana dan mengumumkan bahwa anak ini yang kelak akan menjadi pewarisnya. Teringat akan ketujuh putranya, timbul rasa benci di hati ratu terhadap anak itu. Dia bermaksud untuk meracuninya. Dengan hati-hati dia memasakkan beberapa potong dendeng manis dan disuruhnya anak itu untuk memakannya. Namun dia menolak memakannya sebelum diperbolehkan memegang dan bermain dengan kalung yang melingkar di leher ratu.

Karena sangat ingin segera membunuhnya, ratu membuka kalung permatanya dan memberikannya. Begitu kalung itu sampai di tangannya, secepat kilat si anak itu lari meninggalkan istana tanpa sempat bisa dicegah. Dia tidak berhenti bahkan untuk bernafas hingga tiba di hadapan bundanya. Segera dipasangkannya kalung itu di leher ibunya yang seketika itu juga hidup kembali.

Ketika raja menemuinya keesokan harinya, raja memintanya untuk ikut ke istana dan menikah dengannya.
“Aku tidak akan menikah denganmu sebelum kau menghukum ratu yang tidak hanya berniat membunuhku dan anakku, juga telah membunuh ketujuh putranya,” kata putri. “Aku tidak akan merasa aman sebelum dia pergi dari istana.”
“Aku pasti akan menghukumnya karena dia telah membunuh anak-anakku,” janji raja.
Maka raja memerintahkan untuk membuat lubang yang berisi kelabang dan ular berbisa lalu menjebloskan ratu ke dalamnya hingga ia mati.

Akhirnya raja memboyong putri Aubergine ke istana dan mereka pun menikah. Begitulah mereka hidup berbahagia selamanya.

(SELESAI)

Dongeng – Pilt, Monster Yang Tak Menyeramkan

Profesor Simon, bosku, memintaku mencari Artur. Ia temanku sesama ahli geologi. Artur menghilang di sebuah lembah di wilayah Afrika. Saat itu ia sedang menyelidiki jejak manusia purba.
Setibanya di Afrika, aku langsung menuju lembah itu. Penduduk setempat bercerita bahwa lembah itu berbahaya. Ada monster pemangsa manusia tinggal di balik lembah itu. Namun aku tidak takut. Sambil menggendong ransel kulit berisi berbagai peralatan, kumulai perjalananku mencari Artur.
“Apa sih yang dicari Artur di tempat seperti ini?” omelku saat merayap dengan susah payah di antara celah batuan pegunungan. Aku tak berani menoleh ke bawah. Setibanya di puncak, aku bingung tak tahu harus ke mana lagi. Akhirnya aku tertidur bersandar di dinding batu.
Entah berapa lama aku tertidur. Tiba-tiba ada bulu-bulu kasar mengusap wajahku. “Aaaaa…” aku menjerit sekuat tenaga. Mataku melotot melihat sosok mahluk berbulu tebal di hadapanku.
Aku sudah bersiap-siap lari andai diserang. Tapi, aneh! Ia malah bertepuk-tepuk tangan dan menyeringai. Sepertinya senang melihatku ketakutan. Diam-diam kuambil sebuah alat berbentuk terompet kecil. Kutekan tombol merahnya dan kuarahkan ke tubuh mahluk itu.
Krsk kersk! Tuit… Krsk… tuit! Alatku mulai bekerja. Kini aku bisa mengerti apa yang diucapkan monster itu.
“Horee, manusia itu ketakutan! Lalala… dia takut padaku!”
Kudekatkan alat berbentuk corong terompet itu ke mulutku, “Hei! Jangan ganggu aku. Wajahmu yang mengerikan membuatku takut!” seruku.
Dengan bantuan alat itu, makhluk itu kini mengerti ucapanku. Ia berhenti meledek dan mendekat ke arahku. “Jangan takut! Aku ingin jadi temanmu. Baru kamu yang ketakutan melihat wajahku. Teman-temanku bilang, wajahku terlalu tampan dan tidak cocok menjadi monster!” ia lalu menangis tersedu-sedu.
Mulanya aku ingin tertawa mendengar ucapannya. Mana ada monster yang tampan, batinku, Tapi melihat ia menangis seperti anak kecil, hatiku jadi iba.
“Sudah, jangan menangis. Bagiku kamu sangat menyeramkan. Aku belum pernah bertemu monster. Jadi kukira kau hendak memakanku,” ujarku.
Monster itu menggelengkan kepala. “Apa kau tak tahu, monster cuma makan buah dan sayur. Untuk apa aku memakanmu. Aku tidak doyan!”
“Kalau begitu, mengapa kalian selalu menakut-nakuti manusia?”
“Ya, terpaksa,” jawabnya lugu, ”kalau tidak ditakut-takuti, manusia akan menemukan tempat persembunyian kami. Dan kami bisa dibunuh. Temanmu sendiri bilang, kami harus hati-hati terhadap manusia.”
“Temanku? Maksudmu… Artur?” tanyaku berdebar-debar.
Monster itu mengangkat bahu. “Aku tak tahu siapa namanya. Dua minggu lalu kami memergokinya sedang mengamati gua kami. Ia sekarang tinggal bersama kami.”
Aku lega sekaligus cemas. Kini Artur berada di sarang monster!
Tiba-tiba monster itu mengangkat tubuhku dan menjepit pinggangku dengan ketiaknya, ”Akan kubawa kau ke tempatku,” katanya. Aku tak bisa menolak. Kupejamkan mata kuat-kuat saat dibawa menaiki bukit-bukit batu, melintasi padang rumput… kepalaku sampai pusing.
Setelah itu aku ditarik memasuki gua dengan lorong bercabang-cabang. Lamaaa sekali kami berjalan dalam kegelapan. Akhirnya seberkas cahaya terlihat di ujung lorong.
“Di sinilah tempat tinggalku,” tunjuk monster itu.
Tempat itu membuatku tertegun. Seluruh dinding dan lantai gua dilapisi emas. Monster-monster kecil berkejar-kejaran. Monster-monster yang lebih besar bercanda dengan riangnya.
“Halo, Monster Tampan,” sapa monster berkepala naga. ”Rupanya kau bawa teman lagi?” Wajah monster ini dan monster lainnya, jauh lebih mengerikan dari monster yang membawaku ke sini.
Mereka lalu menyuguhiku buah-buahan dan minuman sari buah yang segaaar sekali. Aku juga diajak menari dan menyanyi. Monster berkepala babi yang berbulu hijau lalu bercerita,
“Zaman dulu, nenek moyang monster dan manusia bersahabat. Tapi sejak teknologi manusia semakin maju, mereka jadi ingin tahu segala hal. Bangsa monster pun mulai diburu. Mereka mengorbankan persahabatan sejati demi kepentingan pribadi. Sejak itulah kami tinggal di gua ini turun-temurun. Menunggu saat yang tepat untuk kembali ke dunia luar. Tapi kudengar manusia semakin ganas. Padahal kami tak pernah memusuhi mereka.”
“Apa aku bisa keluar dari tempat ini?” tanyaku kemudian.
Monster-monster itu terkekeh-kekeh,”Tentu saja. Kami tak pernah menahan siapa pun yang ingin pergi dari sini.”
“Aku tak percaya!” nada suaraku mulai naik. “Buktinya temanku yang kalian tangkap dua minggu lalu, belum juga kalian bebaskan!”
Monster bertangan empat langsung menarik lenganku ke tempat yang mirip perkebunan di dalam gua. Sinar matahari masuk melalui pantulan-pantulan cermin yang dipasang di sekiling gua. Di situ ternyata ada beberapa manusia. Mereka sedang memetiki buah. Artur juga ada di situ!
“Kami berada di sini bukan karena ditahan monster. Tapi untuk mencari kedamaian. Lihat saja! Di tempat ini terdapat banyak sekali emas. Tapi monster-monster itu tidak saling membunuh untuk memperebutkannya,” cerita Artur.
Kutepuk bahu Artur perlahan,”Semua mahluk memang ingin hidup damai. Tapi, kau tak boleh melupakan tanggung jawabmu. Dan melupakan bos kita, Profesor Simon. Kalau Profesor mengira kita ditangkap monster, ia bisa datang ke lembah ini membawa tentara. Tempat ini tidak akan tenang lagi.”
Artur terdiam.
Kataku lagi, ”Lebih baik kita pulang. Dan mengajarkan kedamaian di luar sana. Semoga suatu saat nanti monster-monster bisa bersahabat dengan manusia kembali.”
Artur akhirnya mau kuajak pulang. Kami berdua sepakat akan merahasiakan tempat itu. Ketika akan pulang, si monster tampan memaksa ingin ikut. Terpaksa ia kubawa pulang di dalam peti. Dengan syarat ia tak boleh memperlihatkan dirinya pada manusia lain. Monster tampan itu kuberi nama Pilt.
Mula-mula Pilt memang tidak sekali pun keluar dari rumahku. Tapi suatu sore sepulangnya dari kantor, Pilt meloncat keluar dari semak-semak sambil berteriak mengagetkanku. Tampaknya ia senang sekali melihat wajahku yang pucat terkejut. Cepat-cepat kusuruh ia masuk. Untung sudah sore, jadi kurasa tak ada orang yang melihat kejadian itu.
Suatu malam saat sedang nonton televisi, pintu rumahku diketuk seseorang. Ketika kubuka, Jeni, anak kecil tetanggaku. Ia tersenyum sambil mengulurkan sebuah kantung plastik, katanya, ”Paman, tolong berikan permen ini pada monster yang tinggal di rumah Paman. Tadi pagi aku sudah berjanji akan memberinya permen.”
Aku melongo mendengarnya. Segera kutarik Jeni masuk.
“Jeni, apakah orang tuamu tahu tentang monster ini?” tanyaku gugup.
Ia menggeleng membuatku lega. Tapi…” Marthina dan Will tahu,”
Kutepuk dahiku keras. Gawat! Bagaimana kalau orangtua anak-anak iini tahu? Aku hampir marah pada Pilt. Tapi aku jadi terharu ketika kulihat wajah Pilt begitu gembira menerima permen dari Jeni. Pilt mengunyah permen perlahan sambil memeluk Jeni yang mengelus-elus kepala Pilt. Aku jadi teringat ucapan Pilt malam sebelumnya,
”Sekarang aku ingin jadi monster yang tak menyeramkan, monster yang tampan. Jadi aku punya banyak teman di sini.”
Aku terenyuh. Mana ada monster yang tak menyeramkan. Mungkin cuma anak-anak seperti Jeni, Marthina, dan Will saja yang menganggap Pilt tidak menyeramkan. Aku yakin mereka berempat bisa bersahabat. Kupinjami alat berbentuk terompetku sehingga mereka bisa berkomunikasi.
Kini, sudah 20 tahun aku tak bertemu Pilt. Masih kuingat malam itu Pilt menghilang dari kamarnya. Ketika sejumlah orang dewasa memaksa masuk. Rupanya orang tua Jeni, Marthina, dan Will mencurigai anak-anak mereka yang sering pergi sambil membawa makanan dari rumah. Setelah diikuti, akhirnya ketahuan, anak-anak mereka sedang bermain dengan monster.
Pasti Pilt ketakutan ketika orang-orang dewasa itu beramai-ramai hendak menangkapnya. Ia disangka monster jahat. Untung Pilt sempat melarikan diri.

Pilt tak pernah muncul lagi. Sesekali ada berita di koran tentang mahluk berbulu coklat di kereta api bawah tanah. Aku tak berusaha menyelidikinya, meski pun aku yakin itu pasti Pilt. Biarlah Pilt tinggal di lorong-lorong kereta api bawah tanah yang mirip dengan tempat tinggalnya dulu. Biarlah Pilt mengajak manusia bersahabat dengan caranya sendiri.

(SELESAI)

Dongeng – Peri Ikan

Karya Ignacz Kunos (Ignácz Kúnos)

Dahulu ada orang yang bernama Mahomet, yang hidup sebagai nelayan dengan menangkap ikan dan menjualnya. Suatu hari dia menderita sakit keras dan tidak mempunyai harapan lagi untuk sembuh, hingga sebelum dia meninggal, dia berpesan kepada istrinya bahwa istrinya harus tidak pernah membuka rahasia kepada anak laki-laki satu-satunya yang saat itu masih sangat kecil bahwa selama ini mereka hidup dari hasil penjualan ikan.

Ketika nelayan itu meninggal dan waktu terus berlalu hingga anaknya beranjak dewasa dan mulai berpikir untuk mendapatkan pekerjaan. Dia telah mencoba banyak hal, tetapi dia tidak pernah berhasil. Setelah ibunya juga meninggal, anak itu akhirnya menjadi sendirian dan hidup dalam kemiskinan, tanpa makanan dan uang. Suatu hari dia masuk ke gudang rumahnya, berharap bahwa dia akan menemukan sesuatu untuk dijual.

Dalam pencariannya, dia menemukan jala ayahnya. Dengan melihat jala ini, dia akhirnya sadar bahwa semasa muda, ayahnya adalah seorang nelayan. Lalu dia mengambil jala itu keluar dan pergi ke laut untuk menangkap ikan. Karena kurang terlatih, dia hanya dapat menangkap dua buah ikan, dimana yang satu dijualnya untuk membeli roti dan kayu bakar. Ikan yang satunya lagi dimasak dengan kayu bakar yang dibelinya tadi, dan dimakannya, saat itu dia memutuskan untuk menjadi nelayan.

Suatu hari dia menangkap seekor ikan yang sangat cantik sehingga dia tidak rela untuk menjual atau memakannya sendiri. Dia lalu membawanya pulang ke rumah, menggali sebuah sumur kecil, dan menempatkan ikan tersebut disana. Kemudian dia lalu tidur karena kelelahan dan kelaparan dan berharap bahwa keesokan harinya dia dapat bangun lebih pagi dan menangkap ikan yang lebih banyak.

Keesokan hari, saat pergi menangkap ikan dan pulang di malam hari, dia mendapati rumahnya menjadi sangat bersih dan telah di sapu selama dia tidak berada di sana. Dia menyangka bahwa tetangganya datang dan membersihkan rumahnya, dan atas kebaikan tetangganya membersihkan rumahnya, dia berdoa agar tetangganya tersebut mendapat berkah dari Tuhan.

Keesokan harinya, dia bangun seperti biasa, dengan gembira dia menengok ikannya yang ada di sumur kecil dan pergi untuk bekerja lagi. Pada saat pulang di malam hari, dia kembali menemukan bahwa rumahnya menjadi bersih dan rapih. Kemudian dia menghibur dirinya sendiri dengan memandangi ikannya, lalu pergi ke kedai dimana disana dia berpikir, siapa kira-kira yang telah merapihkan rumahnya. Saat sedang berpikir, salah seorang temannya bertanya, apa yang dipikirkannya. Dan anak nelayan tersebut menceritakan semua kisahnya. Akhirnya temannya berkata bahwa dia harus mengunci rumahnya sebelum berangkat dan membawa kuncinya, hingga tidak ada orang yang bisa masuk ke dalam.

Anak nelayan tersebut akhrnya pulang ke rumah, dan keesokan harinya, dia pura-pura akan keluar bekerja. Dia membuka pintu dan menutupnya kembali, kemudian dia bersembunyi di dalam rumah. Saat itu juga dia melihat ikannya meloncat keluar dari sumur dan menggoyangkan dirinya, berubah menjadi besar dan akhirnya kulit ikan menjadi terkelupas dan anak nelayan tersebut melihat seorang wanita yang sangat cantik jelita. Dengan cepat anak nelayan itu mengambil kulit ikan yang terkelupas tadi dan membuangnya ke dalam perapian.

“Kamu seharusnya tidak melakukan hal itu,” kata wanita itu, “Tapi apa boleh buat, yang terjadi biarlah terjadi dan tidak usah dipermasalahkan lagi.”

Setelah terbebas, wanita tersebut dilamar oleh si anak nelayan dan wanita tersebut menyetujui lamarannya, segala persediaan telah di buat untuk pernikahan mereka. Semua yang melihat wanita itu menjadi kagum dan terpana oleh kecantikannya dan mereka berbisik-bisik bahwa wanita tersebut lebih pantas menjadi pengantin seorang Padishah (Sultan). Kabar ini dengan cepat menyebar ke telinga Padishah, lalu Padishah memerintahkan agar wanita tersebut di bawa ke hadapannya. Saat Padishah melihat wanita yang sangat cantik jelita itu, dia langsung jatuh cinta, dan bertujuan untuk menikahinya.

Karena itu dia menemui anak nelayan tersebut dan berkata “Jika dalam empat-puluh hari kamu bisa membangunkan saya istana dari emas dan permata di tengah-tengah lautan, saya tidak akan mengambil wanita yang akan kamu nikahi itu, tetapi apabila kamu gaga, saya akan mengambilnya dan membawanya pergi.” Lalu anak nelayan itu pulang ke rumah dengan hati sedih dan menangis. “Mengapa kamu menangis?” tanya wanita yang merupakan peri ikan itu. Anak nelayan tersebut lalu menceritakan apa yang diperintahkan oleh Padishah, tetapi wanita itu berkata dengan gembira: “Jangan menangis, kita bisa menyelesaikannya. Pergilah ke tempat dimana kamu pernah menangkap saya semasa menjadi ikan dan lemparkan sebuah batu ke tempat itu. Sesosok jin akan muncul dan mengucapkan kata ‘apa perintahmu?’ Katakan bahwa seorang wanita mengirimkan salam untuknya dan meminta sebuah bantal. Dia akan memberikannya dan lemparkan bantal tersebut ke laut dimana Padishah menginginkan istananya di bangun. Kemudian kembalilah ke rumah.”

Anak nelayan tersebut mengikuti semua petunjuk, dan pada hari berikutnya, ketika dia melihat ke depan dimana bantal tersebut dilemparkan dilaut, dia melihat sebuah istana yang lebih indah dari apa yang Padishah gambarkan dan minta. Dengan gembira mereka cepat-cepat menyampaikan ke istana bahwa tempat tersebut telah di bangun.

Padishah menjadi terkejut, tetapi karena tujuan Padishah sendiri bukanlah istana itu melainkan untuk memisahkan anak nelayan dengan wanita yang diidam-idamkannya, Padishah atau Sultan tersebut memberi perintah pada anak nelayan itu untuk membuatkan jembatan dari Kristal menuju ke istananya. Selanjutnya anak nelayan itu pulang dan menangis sedih kembali. Saat wanita yang sebenarnya adalah Peri Ikan tersebut melihatnya bersedih dan mendengarkan keluhan dari anak nelayan tersebut, dia berkata: “Pergilah ke tempat sesosok jin seperti sebelumnya, dan mintalah padanya sebuah bantal guling, Ketika kamu sudah mendapatkannya, buanglah ke tempat dimana istana itu berada.” Kemudian anak nelayan tersebut melakukan apa yang disuruhkan oleh calon istrinya dan begitu berbalik, dia melihat sebuah jembatan yang indah dari kristal. Dia kemudian menemui Padishah dan memberitahu bahwa tugasnya telah selesai.

Padishah merasa tidak puas kemudian memerintahkan anak nelayan itu menyiapkan perjamuan yang besar hingga seluruh penduduk dapat makan disana dan harus masih ada makanan yang tersisa. Seperti sebelumnya, anak nelayan itu pulang dan menceritakan hal itu kepada calon istrinya. Mendengar perintah dari Padishah kepada anak nelayan tersebut, dia berkata “Pergilah kembali ke tempat sesosok jin tadi, dan mintalah penggilingan kopi dari dia, tetapi hati-hatilah agar jangan sampai menumpahkannya dalam perjalanan.” Anak nelayan itu kemudian berhasil mengambil penggilingan kopi dari jin tanpa mengalami kesulitan. Tetapi saat membawanya pulang, dengan ceroboh dia menumpahkannya, hingga tujuh dari delapan piring terjatuh keluar dari penggilingan kopi. Dia lalu memungutnya dan membawanya pulang.

Pada hari yang telah ditentukan, semua penduduk yang harus datang menurut undangan dari Padishah, menuju ke rumah anak nelayan tersebut dan mengambil bagian dalam perjamuan besar tersebut. Walaupun semua tamu dapat makan sekenyang-kenyangnya, masih juga banyak makanan yang tersisa. Anak nelayan tersebut berhasil memenuhi tugasnya kembali.

Karena keras kepala, Padishah memerintahkan kembali anak nelayan itu untuk menghasilkan seekor keledai dari sebuah telur. Anak nelayan tersebut memberi tahu wanita calon istrinya itu, apa saja yang diperintahkan oleh Padishah, dan wanita tersebut memberi tahu dia bahwa dia harus memberikan tiga telur ke sosok Jin di tengah laut kemudian membawanya pulang kembali tanpa memecahkannya. Anak Nelayan kemudian melakukan apa yang disuruhkan oleh wanita itu, tetapi di tengah jalan pulang, dia menjatuhkan satu biji telur dan memecahkannya. Dari telur tersebut, meloncatlah keluar seekor keledai besar, yang akhirnya lari dan menceburkan dirinya ke laut sampai tidak kelihatan lagi.

Anak nelayan tersebut tiba di rumah dengan aman dan membawa dua buah telur yang tersisa. “Mana yang ketiga?” tanya wanita itu kepadanya. “Pecah di perjalanan,” katanya. “Kamu seharusnya lebih berhati-hati,” kata wanita itu, “tapi apa yang telah terjadi, biarlah terjadi.”

Kemudian anak nelayan membawa telur-telur itu ke Padishah, dan meminta agar dia diijinkan naik ke atas sebuah bangku untuk melemparkan telur tersebut di lantai. Padishah mengijinkannya dan anak nelayan tersebut lalu berdiri diatas bangku dan melemparkan telur ke lantai. Saat itu seekor keledai yang besar meloncat keluar dari telur yang pecah dan jatuh ke atas Padishah yang langsung mencoba menghindar untuk menyelamatkan diri. Anak nelayan itu kemudian menyelamatkan Padishah dari bahaya, dan keledai yang tadi lalu berlari keluar dan menceburkan dirinya ke dalam laut.

Dengan rasa putus asa, Padishah atau sultan tadi mencari-cari hal yang mustahil dan yang tidak mungkin dapat di kerjakan oleh anak nelayan. Dia lalu meminta agar anak nelayan tersebut membawakan dia anak bayi yang umurnya sehari tetapi sudah dapat berbicara dan berjalan.

Wanita calon istri anak nelayan kemudian menyuruh anak nelayan tersebut ke sesosok jin di tengah laut dan membawakan hadiah-hadiah dari wanita itu, dan memberitahunya bahwa dia berharap dapat melihat kemenakannya yang masih bayi. Anak nelayan itu kemudian pergi ke tengah laut dan memanggil sosok jin itu dan menyampaikan pesannya. Sosok Jin itu berkata, “Dia masih berumur beberapa jam, ibunya mungkin tidak mau memberikannya, tapi, tunggulah sebentar, saya akan mencoba menanyakannya.”

Singkat kata, jin tersebut pergi dan segera muncul kembali dengan bayi yang baru lahir ditangannya. Ketika anak nelayan tersebut melihat anak bayi itu, anak bayi itu berlari ke pangkuannya dan berkata “Kita akan ke bibi saya ya?” Anak nelayan mengiyakan dan membawa anak bayi itu ke rumah, dan ketika bayi tersebut melihat wanita itu, dia berteriak “Bibi!” dan memeluknya. Anak nelayan kemudian membawa bayi itu ke hadapan Padishah.

Saat bayi tersebut dibawa ke hadapan Padishah, bayi tersebut naik ke pangkuan Padishah dan memukul wajahnya, dan berkata: “Bagaimana mungkin orang dapat membangun istana dari emas dan permata dalam empat-puluh hari? membangun jembatan dari kristal juga dalam waktu yang sama? Bagaimana satu orang bisa memberi makan seluruh penduduk yang ada di kerajaan ini? Bagaimana mungkin keledai dapat dimunculkan dari sebuah telur?” setiap kalimat yang meluncur dari mulut sang bayi diiringi dengan tamparan keras ke wajah Padishah, hingga akhirnya Padishah berkata kepada anak nelayan bahwa dia boleh menikahi wanita itu bila dia dapat menjauhkan Padishah dari bayi yang menampari wajahnya terus menerus. Anak nelayan tersebut pulang sambil menggendong bayi itu ke rumah, kemudian menikahi wanita itu dan mengadakan pesta selama empat puluh hari empat puluh malam.

(SELESAI)

Dongeng – Perempuan tua dan Hantu Jadi-jadian

Karya Flora Annie Steel

Dahulu kala ada seorang wanita tua yang sangat-sangat gembira dan selalu penuh dengan sukacita, walaupun hampir tidak memiliki apa-apa, dan dia sudah tua, miskin dan tinggal sendirian. Dia tinggal di sebuah pondok kecil dan menghidupi dirinya dengan membantu tetangganya mengantarkan pesanan, dia hanya mendapatkan sedikit makanan, sedikit sup sebagai upahnya. Dia selalu giat bekerja dan selalu terlihat.

Disuatu sore, di musim panas, ketika dia berjalan pulang ke rumahnya, dengan penuh senyuman seperti biasanya, dia menemukan sebuah pot hitam yang besar tergeletak di tanah!

“Oh Tuhan!” katanya, “Pot ini akan menjadi tempat yang bagus untuk menyimpan sesuatu apabila saya mempunyai apa-apa yang dapat disimpan disana! Sayangnya saya tidak memiliki apa-apa! Siapa yang telah meletakkan pot ini disini?”

Kemudian dia melihat ke sekeliling berharap bahwa pemiliknya tidak jauh dari sana, tapi dia tidak melihat siapapun disana.

“Mungkin pot ini memiliki lubang,” katanya lagi,”dan karena itulah pot ini dibuang. Tapi pot ini akan sangat bagus bila saya meletakkan setangkai bunga dan menaruhnya di jendela rumahku, saya akan membawanya pulang.”

Dan ketika dia mengangkat tutupnya dan melihat ke dalam. “Ya ampun!” teriaknya dengan terkagum-kagum. “Penuh dengan emas. Betapa beruntungnya saya!”

Di dalam pot tersebut dilihatnya tumpukan koin emas yang berkilap. Saat itu dia begitu terpana dan tidak bergerak sama sekali, kemudian akhirnya dia berkata

“Saya merasa sangat kaya sekarang, benar-benar kaya raya!”

Setelah dia mengucapkan kata-kata ini beberapa kali, dia mulai berpikir bagaimana dia dapat membawa harta karun itu kerumahnya. Pot berisi emas itu begitu berat untuk dibawa, dan dia tidak menemukan cara yang baik selain mengikat pot itu pada ujung selendangnya dan menariknya sampai ke rumah.

“Sebentar lagi hari akan menjadi gelap,” katanya sendiri dan mulai berjalan. “Ah.. sekarang lebih baik! karena tetanggaku tidak akan melihat apa yang saya bawa pulang ke rumah, dan saya bisa sendirian saja sepanjang malam, memikirkan apa yang saya akan lakukan dengan emas ini! mungkin saya akan membeli rumah yang besar dan duduk-duduk di perapiannya sambil menikmati secangkir teh dan tidak bekerja lagi seperti seorang Ratu. Atau mungkin saya akan mengubur emas ini di taman dan meyimpan sedikit emas ini di teko tua ku, atau mungkin .. wah.. wah.. saya merasa tidak mengenal diri saya sekarang.”

Sekarang dia merasa lelah karena menarik pot yang berat itu, berhenti sejenak untuk beristirahat, dan berbalik melihat ke hartanya.

Dan dilihatnya pot itu tidak berisi emas, tapi hanya tumpukan koin perak di dalamnya.

Dia menatap pot itu dan menggosok matanya, dan menatap kembali.

“Saya berpikir bahwa pot tadi berisi emas! Saya mungkin bermimpi. Tapi ini adalah keberuntungan! Perak lebih tidak menyusahkan, gampang di pakai, dan tidak mudah dicuri. Koin emas mungkin membawa kematian untuk saya, dan dengan setumpuk koin perak ini…”

kemudian dia berjalan lagi sambil memikirkan apa yang harus dilakukannya, dan merasa seperti orang kaya, hingga akhirnya dia keletihan lagi dan berhenti beristirahat dan menengok kembali apakah hartanya masih aman; dan saat itu dia tidak melihat perak, melainkan setumpuk besi!

“Saya menyangka pot itu berisi perak! saya pasti bermimpi, Tapi ini adalah keberuntungan! sungguh menyenangkan. Saya dapat menjual dan mendapatkan satu penny untuk satu besi tua ini, dan satu penny lebih gampang di bawa dan di atur dibandingkan emas dan perak. Mengapa! karena saya tidak harus tidur dengan gelisah karena takut di rampok. Tapi satu penny betul-betul dapat berguna dan saya seharusnya menjual besi-besi itu dan menjadi kaya, benar-benar kaya.”

kemudian dia berjalan lagi sambil memikirkan apa yang harus dilakukannya dengan uang penny nya nanti, hingga sekali lagi dia berhenti beristirahat dan menengok kembali apakah hartanya masih aman; dan kali ini dia tidak melihat apa-apa selain batu-batu besar dalam pot itu.

“Saya menyangka pot itu berisi bersi! saya pasti bermimpi, Tapi ini adalah keberuntungan! karena saya sudah lama menginginkan batu besar untuk menahan agar pintu pagar saya tetap terbuka. Sungguh hal yang baik memiliki keberuntungan.”

Dia menjadi sangat ingin melihat bagaimana batu itu nanti bisa menahan pintu pagarnya agar selalu terbuka, dia akhirnya berjalan terus hingga tiba di pondoknya. Dia membuka pintu pagarnya, berbalik untuk melepaskan selendangnya dari batu besar yang tergeletak di belakangnya. Tetapi apa yang dilihatnya bukanlah batu besar, melainkan serpihan-serpihan batu.

Sekarang dia membungkuk dan melepaskan ujung selendangnya, dan – “Oh!” Tiba-tiba dia terlonjak kaget, sebuah jeritan, dan mahkluk yang sebesar tumpukan jerami, dengan empat kaki yang panjang dan dua telinga yang panjang, memiliki ekor panjang, menendang-nendang ke udara sambil memekik dan tertawa seperti anak yang nakal!

Wanita tua itu memandangnya sampai makhluk itu menghilang dari pandangan, kemudian akhirnya perempuan itu tertawa juga.

“Baiklah!” katanya sambil tertawa, “Saya beruntung! Cukup beruntung. Sungguh senang bisa melihat hantu jadi-jadian dengan mata kepala sendiri, dan bebas darinya juga! Ya Tuhan, saya merasa sangat bahagia!”

Kemudian dia masuk ke pondoknya dan tertawa sepanjang malam membayangkan kejadian tadi dan merasa betapa beruntungnya dia hari ini.

(SELESAI)