Dongeng – Putri yang Sempurna

Karya Hans Christian Andersen

Dahulu kala, ada seorang pangeran yang menginginkan seorang Putri Raja, tetapi Putri tersebut haruslah sempurna. Dia kemudian melakukan perjalanan mengelilingin dunia hanya untuk mencari putri tersebut, tetapi dia selalu menemukan bahwa ada sesuatu yang tidak sempurna pada setiap Putri Raja yang ditemuinya. Dia menemukan banyak Putri Raja, tapi tak ada yang benar-benar dianggap sempurna oleh Pangeran itu. Dengan putus asa akhirnya dia pulang kembali ke istananya dan merasa sangat sedih karena tidak menemukan apa yang dicarinya.

Suatu malam, terjadi hujan badai yang sangat keras; dimana kilat dan guntur beserta hujan turun dengan deras sekali; malam itu sungguh menakutkan.

Ditengah-tengah badai tiba-tiba seseorang mengetuk pintu istana, dan ayah Pangeran yang menjadi Raja waktu itu, sendiri keluar membuka pintu untuk tamu tersebut.

Seorang Putri yang sangat cantik berdiri di luar pintu, kedinginan dan basah kuyup karena badai pada malam itu. Air mengalir dari rambut dan pakaiannya yang masih basah; mengalir turun ke kaki dan sepatunya. Putri tersebut mengaku bahwa dia adalah Putri yang sempurna.

“Kita akan segera mengetahui apakah yang dikatakan oleh Putri tersebut benar atau tidak,” pikir sang Ratu, tetapi dia tidak berkata apa-apa. Dia masuk ke dalam kamar tidur, mengeluarkan seprei yang mengalas tempat tidur yang akan dipakai oleh sang Putri dan menaruh sebutir kacang polong di atas tempat tidur itu. Kemudian dia mengambil dua puluh kasur dan meletakkannya di atas sebutir kacang tersebut. Malam itu sang Putri tidur di atas ranjang tersebut. Di pagi hari, mereka menanyakan apakah sang Putri tidur nyenyak di malam itu.

“Oh saya sangat susah tidur!” kata sang Putri, “Saya sangat sulit untuk memejamkan mata sepanjang malam! Saya tidak tahu apa yang ada pada ranjang itu, saya merasa berbaring di atas sesuatu yang kasar, dan seluruh tubuh saya pegal-pegal dan memar di pagi ini, sungguh menakutkan!”

Raja dan Ratu langsung tahu bahwa sang Putri ini pastilah putri yang benar-benar sempurna, karena hanya putri yang sempurna dapat merasakan sebutir kacang yang ditempatkan di bawah dua puluh kasur an dilapisi dengan dua puluh selimut. Hanya putri yang benar-benar sempurna mempunyai kulit yang begitu halus.

Pangeran kemudian mengambilnya sebagai istri, dan sekarang dia telah menemukan putri yang selama ini dicarinya.

(SELESAI)

Dongeng – Putri Warna Warni

Di sebuah desa pinggiran hutan, tinggallah seorang janda dengan anak gadisnya yang cantik. Meski berwajah rupawan, gadis itu amat rendah diri. Ia malu karena warna kulitnya sering berubah-ubah. Kalau duduk di atas rumput, kulitnya menjadi hijau. Kalau makan sawo, kulitnya berwarna coklat. Terkena sinar matahari pagi, kulitnya akan menjadi kuning. Gadis itu paling merasa sedih jika ia berada di tempat gelap. Kulitnya seketika menjadi hitam legam. Karena warna kulitnya sering berubah-ubah, ia dijuluki Putri Warna-Warni.

Putri Warna-Warni bersahabat baik dengan seekor Bunglon. Dimana ada Putri Warna-Warni, di sebelahnya selalu ada sahabat karibnya itu. Mereka bersahabat karena memiliki nasib yang sama. Kulit mereka sering berubah-ubah.

Suatu hari, saat bulan purnama bersinar di langit, betapa cantiknya Putri Warna-Warni. Kulitnya putih bersih, berkilau ditimpa cahaya rembulan yang indah.
“Kamu cantik sekali dalam cahaya rembulan, Putri Warna-Warni. Kamu tak ubahnya seperti seorang putri kerajaan,” puji Bunglon sahabatnya.

Putri Warna-Warni tersipu mendengar pujian itu.
“Namun aku akan segera menjadi putri jelek kalau rembulan tak menyinari tubuhku,” kata Putri Warna-Warni sedih. Wajahnya nampak mendung.
“Jangan begitu Putri Warna-Warni. Kau tetap Putri yang baik hati meski kulitmu berubah menjadi merah, kuning, hijau ataupun biru. Hatimu yang mulia tak akan berubah hanya karena perubahan warna tersebut.”
Mendengar kalimat bunglon sahabatnya, Putri Warna-Warni amat terharu.

Tanpa mereka sadari, lewatlah seorang pangeran yang pulang kemalaman sehabis berburu. Ia amat terpesona dan takjub melihat kemolekan Putri Warna-Warni. Belum pernah dia melihat seorang putri secantik itu.
“Wahai Putri cantik, kau tak pantas tinggal di pinggir hutan yang sepi ini. Tinggallah di istanaku. Kau akan kuangkat jadi permaisuriku. Tunggulah tiga hari lagi, pengawalku akan menjemputmu dengan kereta yang ditarik empat ekor kuda putih.”

Hati Putri Warna-Warni berbunga-bunga mendengar perkataan sang pangeran. Sebentar lagi ia akan menjadi permaisuri. Tak lagi hidup miskin, dan tak perlu tinggal di pinggir hutan lagi. Namun si bunglon sangat sedih, karena merasa akan ditinggal sendiri.

Kegembiraan Putri Warna-Warni sampai terbawa ke mimpinya. Ia bermimpi pesta pernikahannya berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Ada berbagai macam hiburan. Berbagai macam makanan dan minuman dihidangkan. Namun sang pangeran tampak kecewa setelah tahu warna kulit permaisurinya berubah-ubah terus. Kadang terlihat cantik, kadang terlihat jelek.

Mimpi itu membuat Putri Warna-Warni gelisah. Keesokan harinya, kembali bermimpi. Seorang pertapa sakti muncul di hadapannya. Pertapa itu berkata,
“Mudah sekali menyembuhkan perubahan warna kulitmu itu Putri Warna-Warni. Makanlah daging Bunglon sahabatmu itu. Maka kulitmu akan normal kembali.”

Putri Warna-Warni menceritakan mimpinya itu kepada Bunglon sahabatnya. Si Bunglon malah tersenyum mendengarnya, dan berkata,
“Mimpiku juga sama dengan mimpimu, Putri Warna-Warni. Seorang pertapa sakti memintaku untuk bersedia memberikan tubuhku buat kesembuhanmu. Aku bersedia membantumu, Putri! Asal hidupmu bahagia bersama Pangeran itu,” ujar Bunglon tulus.
Putri Warna-Warni termenung.
“Ayo, Putri Warna-Warni. Nanti malam, bakarlah tubuhku untuk hidangan makan malammu,” lagi-lagi Bunglon itu menawarkan diri.

Putri Warna-Warni terharu.
“Tidak, Bunglon sahabatku. Aku tidak mau meraih kebahagiaan dengan mengorbankan dirimu. Kau adalah sahabatku yang terbaik. Besok kalau pengawal pangeran itu datang, biarlah kutolak ajakannya. Aku tidak mau menjadi permaisuri. Biarlah aku menjadi Putri Warna-Warni seperti ini saja. Asal kau tetap disampingku, Bunglon sahabatku.”
Dua sahabat itu akhirnya berangkulan bahagia.

(SELESAI)

Dongeng – Putri Uwina

Sudah delapan tahun menikah, Bangsawan Morrits dan Arlauna, istrinya, belum juga dikaruniai anak. Segala usaha sudah mereka tempuh tapi belum juga menampakkan hasil.
“Apalah artinya harta yang berlimpah bila seorang anak pun tidak kumiliki,” keluh pasangan suami istri bangsawan ini.

Arlauna akhirnya mengandung menjelang usia perkawinan mereka yang ke limabelas. Betapa sukacitanya Bangsawan Morrits mengetahui hal ini. Namun, kegembiraan itu ternyata harus bercampur dengan duka ketika Uwina, anak perempuan mereka lahir. Uwina lahir dalam keadaan yang sukar dipercaya. Sebelah matanya melotot dan sekujur tubuhnya ditumbuhi sisik-sisik kasar. Suara tangisnya pun kroarr, kroarr, serak seperti suara kodok. Orang tua mana yang tak sedih menghadapi kenyataan ini. Rasa sayang Bangsawan Morrits dan istrinya terhadap Uwina sama sekali tak berubah. Mereka cuma mengkuatirkan nasib Uwina kelak. Apakah orang-orang tak akan jijik memandangnya?

Sambil menangis, mereka berdua mengadukan nasibnya kepada Peri Anelot. Setelah berkali-kali namanya diserukan barulah Peri Anelot muncul dan dengan lembut dia berkata, “Aku tidak bisa menyembuhkan penyakit putrimu karena memang itu bukan wewenangku untuk melakukannya. Hanya temanku yang bisa. Tapiii….”
“Tapi apa, Peri?” desak Bangsawan Morrits tak sabar.
Peri Anelot berkata ragu, “Temanku, Peri Boherik itu sering mengajukan syarat yang aneh. Aku takut kalian tak sanggup melaksanakan syaratnya nanti.”
“Apa pun yang terjadi nanti, sekarang tolong panggilkan temanmu itu dulu,” pinta Bangsawan Morrits. “Semoga dia kasihan pada kami dan tidak mensyaratkan apa-apa.”

Sekejap kemudian… wuuzz!!! Setelah Peri Anelot merapalkan mantera muncullah Peri Boherik diiringi pusaran angin yang sangat kencang. Tidak seperti peri-peri lain yang tampak anggun, peri yang satu ini malah terlihat urakan. Sayap biru di punggung kirinya pun agak sobek. Entah sayap itu masih bisa dipergunakan untuk terbang atau tidak.

“Aku sudah tahu kenapa aku dipanggil ke sini. Butuh bantuanku, kan?” tanya Peri Boherik sambil cengar-cengir nakal. “Boleh saja. Asal kalian berdua mematuhi syaratku.”
“Apa syaratnya?” tanya Arlauna.
“Hmph… penyakit yang ada di tubuh Uwina akan kupindahkan ke tubuh kalian.” Katanya masih sambil cengengesan, “Tidak ada tawar-menawar. Bila tidak mau, ya sudah. Aku pergi saja!” Peri Boherik bersiap-siap akan menghilang.
“Tunggu, Peri. Kami terima syaratmu itu,” seru Bangsawan Morrits dan istrinya.
“Bagus!” sahut peri yang nakal itu. “Kalian boleh mengasuh Uwina tapi tidak boleh mengaku sebagai orangtuanya. Aku dan Peri Anelot akan menggantikan posisi kalian. Kutukan terhadap kalian akan lenyap bila suatu saat Uwina mengakui kalian berdua sebagai orangtuanya. Tapi, apakah ia mau mengakui kalian yang berwajah buruk, ha, ha, ha…”

Begitulah, demi kesembuhan putri yang mereka sayangi, Bangsawan Morrits dan istrinya rela berkorban. Wajah Bangsawan Morrits yang tampan berubah jadi menyeramkan. Matanya melotot dan suaranya serak seperti suara kodok. Sedangkan kulit Arlauna yang putih mulus kini ditumbuhi sisik-sisik kasar. Walaupun menderita, mereka berdua tidak pernah mengeluh karena setiap hari Uwina ada di dekat mereka. Tentu saja Uwina tidak mengetahui bahwa dua orang buruk rupa yang selalu mengasuh dan merawatnya dengan penuh kasih sayang itu adalah orang tua kandungnya. Pelayan-pelayan di rumah itu pun cuma tahu bahwa dua orang itu sudah dipercaya oleh majikan mereka untuk mengasuh Uwina.

Suatu hari Uwina kecil bertanya pada pengasuhnya, “Kenapa Papa dan Mama tidak pernah mengajakku bermain?”
“Papa dan mamamu harus bekerja, Uwina.” Jawab pengasuhnya dengan suara serak.
“Apakah itu berarti mereka tidak menyayangiku?” tanya Uwina lagi.
“Tentu saja mereka sayang padamu. Tidak ada orang tua yang tidak menyayangi anaknya. Kalau Uwina rajin belajar dan tidak cengeng, pasti Papa dan Mama akan mengajak bermain.” Kata pengasuh yang badannya bersisik dengan bijaksana. “Percayalah, Uwina. Burung yang kecil saja mau dan suka bermain dengan anaknya, apalagi orang tuamu yang memiliki anak semanis kamu.”

Lima belas tahun sudah umur Uwina. Dia tumbuh menjadi gadis cilik yang disukai semua orang. Dia selalu memberi nasihat kepada teman-temannya dengan tutur kata yang lemah lembut, sehingga tak ada yang merasa tersinggung karena teguran dan nasihatnya.

Suatu hari tersiar kabar bahwa Pangeran David, putra mahkota yang baru berumur lima tahun sedang sakit keras. Hal ini dikarenakan tak ada seorang pun yang sanggup memenuhi permintaan sang putra mahkota. Siapa yang sanggup bila bulan purnama yang dimintanya. Tabib sakti dan badut-badut istana juga tak bisa menyembuhkan dan menghiburnya.

Uwina yang mendengar kabar itu jadi teringat pengalamannya sendiri ketika masih seusia Pangeran David. Maka bergegaslah Uwina ke istana.

Seminggu kemudian, mendadak ada rombongan istana berkunjung ke rumah Bangsawan Morrits. Tentu saja hal ini mengejutkan seluruh penghuni rumah Bangsawan Morrits. Apalagi baginda raja datang sendiri ke situ cuma untuk bertemu dengan Uwina.
“Uwina, aku ingin berterima kasih kepadamu,” kata baginda Raja dengan wajah ceria, “Putraku, Pangeran David sudah sembuh.”

Uwina membungkuk dengan sikap hormat, “Baginda, waktu masih seusia Pangeran David, hamba pun pernah minta diambilkan bulan purnama. Mereka lalu memberi hamba sebutir mutiara. Kata mereka itulah bulan purnama. Hamba pun percaya. Lalu, hamba melakukan hal yang sama terhadap putra Baginda. Kalau hamba waktu itu percaya tentu Pangeran David juga akan percaya, begitu pikir hamba.”
“Tapi bagaimana saat dia melihat bulan kembali bersinar di malam berikutnya. Bukankah dia akan tahu kalau telah dibohongi?”

Uwina tersenyum, “Benar. Itu juga pernah hamba alami. Tapi mereka mengatakan bahwa bunga yang telah dipetik kelak pasti berbunga lagi. Gigi yang telah tanggal juga dapat tumbuh lagi. Oleh karena itu bulan yang telah diambil pun pasti ada yang menggantikan,” jawab Uwina. “Hamba rasa itu jawaban yang paling cocok untuk anak seusianya. Bila dewasa kelak, Pangeran David pasti lebih bijaksana. Saat itu dia pun akan tahu bahwa tidak mungkin manusia mengambil bulan purnama.”

Mendengar penjelasan tersebut Baginda Raja mengangguk-angguk puas. Sungguh bijaksana gadis kecil ini, pikir Baginda Raja kagum. Kemudian, “Siapakah ‘mereka’ yang mengajarkan semuanya itu kepadamu?” tanyanya.
“Mereka adalah orang tua hamba, Baginda.” Jawab Uwina.
“Ooo… mereka berdua inikah orang tuamu?” Baginda Raja menunjuk Bangsawan Morrits dan Arlauna yang palsu.
“Orang tua bukanlah orang yang melahirkan anaknya saja tapi tidak merawat dan mengasuhnya. Orang yang merawat, mengasuh, mengajarkan hal-hal bijaksana pada anak itulah yang lebih pantas disebut sebagai orang tua. Mereka berdua memang orang yang melahirkan hamba, Baginda. Tapi yang lebih pantas disebut orang tua hamba adalah kedua orang ini. Merekalah yang mengajarkan banyak hal pada hamba,” kata Uwina sambil memeluk kedua orang pengasuhnya yang buruk rupa.

WHUUZZ!! DHUARR!!! Tiba-tiba dua gulungan sinar putih menyelubungi kedua pengasuh Uwina dan dalam sekejap mereka kembali ke wujud asli, yaitu Bangsawan Morrits dan Arlauna. Pengaruh sihir telah lenyap bersamaan dengan pengakuan Uwina tadi.
“Ha, Ha, Ha, … kamu benar-benar beruntung, Morrits. Tapi aku belum menyerah,” tawa Bangsawan Morrits yang palsu menggetarkan seisi rumah. Sebelum orang-orang menyadari apa sebenarnya yang telah terjadi, Bangsawan Morrits dan Arlauna palsu langsung menggabungkan diri dengan yang asli. Orang-orang tidak tahu mana yang asli dan mana yang palsu. Cuma Uwina yang tampak tenang-tenang saja, katanya, “Aku tahu ada peri-peri nakal yang menyamar menjadi orang tuaku. Baiklah. Kini aku akan menguji kalian berempat. Dan peri-peri nakal harus berjanji tidak akan mengganggu kami lagi bila kalian gagal dalam ujian nanti.”

Orang lain yang ada di situ, termasuk Baginda Raja, bertanya-tanya apa yang akan dilakukan oleh Uwina untuk mendapatkan kedua orang tuanya kembali.
“Mama berdua, aku minta kalian memelukku secara bergantian,” pinta Uwina.

Meskipun heran dengan permintaan itu, keduanya memeluk Uwina. Setelah ‘mama’ kedua telah melepaskan pelukannya, tanpa ragu lagi Uwina segera menggenggam tangan ‘mama’ yang pertama memeluknya, katanya sambil tersenyum, “Inilah mamaku yang asli karena dia memeluk sambil membelai rambutku dengan lembut. Sedangkan kau memeluk pinggangku keras sekali,” tuding Uwina pada ‘mama’ yang lainnya. “Kau memang tak pernah tahu bagaimana cara memeluk seorang anak karena kau memang bukan mamaku.”

Menyadari penyamarannya telah terbongkar, Arlauna palsu yang merupakan jelmaan Peri Anelot langsung menghilang. Suaranya saja yang masih terdengar, “Peri Boherik lebih baik kau pun juga pergi dari sini. Sia-sia saja kamu menghalangi kasih sayang antara orang tua dan anak seperti mereka!”
“Jangan kuatir, aku pasti bisa mengalahkan si Morrits!” teriak Bangsawan Morrits yang palsu dengan spontan.

Grrr!! Orang banyak tertawa menyaksikan kebodohan bangsawan palsu yang tak sengaja membuka kedoknya sendiri. Karena malu yang tak terkira, bangsawan palsu itu langsung kabur dari rumah Bangsawan Morrits. Peri Boherik yang usil kapok menggoda manusia lagi. Dia berjanji kalau menolong orang lain ya tolong saja, tidak usah pakai prasyarat segala. Dia tidak mau lagi dikatai peri yang usil tapi tolol.

Kini Uwina hidup bahagia bersama orang tua kandungnya. Peri-peri usil tidak ada yang berani mengganggu lagi. Mereka rupanya segan mengusili orang yang pandai seperti Uwina. Jangan-jangan malah akan mempermalukan diri sendiri. Selain itu, Uwina kini diangkat menjadi saudara angkat Pangeran David dan dia mengajarkan pada Pangeran David semua ilmu yang diperoleh dari orang tuanya.

Pengorbanan Bangsawan Morrits dan Arlauna tidak sia-sia karena kini Uwina dikenal orang sebagai “Putri Uwina yang bijaksana”.

(SELESAI)

Dongeng – Putri Tidur

Karya Brothers Grimm

Dahulu kala, terdapat sebuah negeri yang dipimpin oleh raja yang sangat adil dan bijaksana. Rakyatnya makmur dan tercukupi semua kebutuhannya. Tapi ada satu yang masih terasa kurang. Sang Raja belum dikaruniai keturunan. Setiap hari Raja dan permaisuri selalu berdoa agar dikaruniai seorang anak. Akhirnya, doa Raja dan permaisuri dikabulkan. Setelah 9 bulan mengandung, permaisuri melahirkan seorang anak wanita yang cantik. Raja sangat bahagia, ia mengadakan pesta dan mengundang kerajaan sahabat serta seluruh rakyatnya. Raja juga mengundang 7 penyihir baik untuk memberikan mantera baiknya.

“Jadilah engkau putri yang baik hati”, kata penyihir pertama. “Jadilah engkau putri yang cantik”, kata penyihir kedua. “Jadilah engkau putri yang jujur dan anggun”, kata penyihir ketiga. “Jadilah engkau putri yang pandai berdansa”, kata penyihir keempat. “Jadilah engkau putri yang panda menyanyi,” kata penyihir keenam. Sebelum penyihir ketujuh memberikan mantranya, tiba-tiba pintu istana terbuka. Sang penyihir jahat masuk sambil berteriak, “Mengapa aku tidak diundang ke pesta ini?”.

Penyihir terakhir yang belum sempat memberikan mantranya sempat bersembunyi dibalik tirai. “Karena aku tidak diundang, aku akan mengutuk anakmu. Penyihir tua yang jahat segera mendekati tempat tidur sang putri sambil berkata,”Sang putri akan mati tertusuk jarum pemintal benang, ha ha ha ha…..”. Si penyihir jahat segera pergi setelah mengeluarkan kutukannya.

Para undangan terkejut mendengar kutukan sang penyihir jahat itu. Raja dan permaisuri menangis sedih. Pada saat itu, muncullah penyihir baik yang ketujuh, “Jangan khawatir, aku bisa meringankan kutukan penyihir jahat. Sang putri tidak akan wafat, ia hanya akan tertidur selama 100 tahun setelah terkena jarum pemintal benang, dan ia akan terbangun kembali setelah seorang Pangeran datang padanya”, ujar penyihir ketujuh. Setelah kejadian itu, Raja segera memerintahkan agar semua alat pemintal benang yang ada di negerinya segera dikumpulkan dan dibakar.

Enam belas tahun kemudian, sang putri telah tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik dan baik hati. Tidak berapa lama Raja dan Permaisuri melakukan perjalanan ke luar negeri. Sang Putri yang cantik tinggal di istana. Ia berjalan-jalan keluar istana. Ia masuk ke dalam sebuah puri. Di dalam puri itu, ia melihat sebuah kamar yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Ia membuka pintu kamar tersebut dan ternyata di dalam kamar itu, ia melihat seorang nenek sedang memintal benang. Setelah berbicara dengan nenek tua, sang Putri duduk di depan alat pemintal dan mulai memutar alat pemintal itu. Ketika sedang asyik memutar alat pintal, tiba-tiba jari sang Putri tertusuk jarum alat pemintal. Ia menjerit kesakitan dan tersungkur di lantati. “Hi… hi…hi… tamatlah riwayatmu!”, kata sang nenek yang ternyata adalah si penyihir jahat.

Hilangnya sang Putri dan istana membuat khawatir orang tuanya. Semua orang diperintahkan untuk mencari sang Putri. Sang putri pun ditemukan. Tetapi ia dalam keadaan tak sadarkan diri. “Anakku ! malang sekali nasibmu…” rata Raja. Tiba-tiba datanglah penyihir muda yang baik hati. Katanya, “Jangan khawatir, Tuan Putri hanya akan tertidur selama seratus tahun. Tapi, ia tidak akan sendirian. Aku akan menidurkan kalian semua,” lanjutnya sambil menebarkan sihirnya ke seisi istana. Kemudian, penyihir itu menutup istana dengan semak berduri agar tak ada yang bisa masuk ke istana.

Seratus tahun yang panjang pun berlalu. Seorang pangeran dari negeri seberang kebetulan lewat di istana yang tertutup semak berduri itu. Menurut cerita orang desa di sekitar situ, istana itu dihuni oleh seekor naga yang mengerikan. Tentu saja Pangeran tidak percaya begitu saja pada kabar itu. “Akan ku hancurkan naga itu,” kata sang Pangeran. Pangeran pun pergi ke istana. Sesampai di gerbang istana, Pangeran mengeluarkan pedangnya untuk memotong semak belukar yang menghalangi jalan masuk. Namun, setelah dipotong berkali-kali semak itu kembali seperti semula. “Semak apa ini ?” kata Pangeran keheranan. Tiba-tiba muncullah seorang penyihir muda yang baik hati. “Pakailah pedang ini,” katanya sambil memberikan sebuah yang pangkalnya berkilauan.

Dengan pedangnya yang baru, Pangeran berhasil masuk ke istana. “Nah, itu dia menara yang dijaga oleh naga.” Pangeran segera menaiki menara itu. Penyihir jahat melihat kejadian itu melalui bola kristalnya. “Akhirnya kau datang, Pangeran. Kau pun akan terkena kutukan sihirku!” Penyihir jahat itu bergegas naik ke menara. Ia menghadang sang Pangeran. “Hai Pangeran!, jika kau ingin masuk, kau harus mengalahkan aku terlebih dahulu!” teriak si Penhyihir. Dalam sekejap, ia merubah dirinya menjadi seekor naga raksasa yang menakutkan. Ia menyemburkan api yang panas.

Pangeran menghindar dari semburan api itu. Ia menangkis sinar yang terpancar dari mulut naga itu dengan pedangnya. Ketika mengenai pangkal pedang yang berkilau, sinar itu memantul kembali dan mengenai mata sang naga raksasa. Kemudian, dengan secepat kilat, Pangeran melemparkan pedangnya ke arah leher sang naga. “Aaaa….!” Naga itu jatuh terkapar di tanah, dan kembali ke bentuk semula, lalu mati. Begitu tubuh penyihir tua itu lenyap, semak berduri yang selama ini menutupi istana ikut lenyap. Di halaman istana, bunga-bunga mulai bermekaran dan burung-burung berkicau riang. Pangeran terkesima melihat hal itu. Tiba-tiba penyihir muda yang baik hati muncul di hadapan Pangeran.

“Pangeran, engkau telah berhasil menghapus kutukan atas istana ini. Sekarang pergilah ke tempat sang Putri tidur,” katanya. Pangeran menuju ke sebuah ruangan tempat sang Putri tidur. Ia melihat seorang Putri yang cantik jelita dengan pipi semerah mawar yang merekah. “Putri, bukalah matamu,” katanya sambil mengenggam tangan sang Putri. Pangeran mencium pipi sang Putri. Pada saat itu juga, hilanglah kutukan sang Putri. Setelah tertidur selama seratus tahun, sang Putri terbangun dengan kebingungan. “Ah… apa yang terjadi…? Siapa kamu…? Tanyanya. Lalu Pangeran menceritakan semua kejadian yang telah terjadi pada sang Putri.

“Pangeran, kau telah mengalahkan naga yang menyeramkan. Terima kasih Pangeran,” kata sang Putri. Di aula istana, semua orang menunggu kedatangan sang Putri. Ketika melihat sang Putri dalam keadaan sehat, Raja dan Permaisuri sangat bahagia. Mereka sangat berterima kasih pada sang Pangeran yang gagah berani. Kemudian Pangerang berkata, “Paduka Raja, hamba punya satu permohonan. Hamba ingin menikah dengan sang Putri.” Raja pun menyetujuinya. Semua orang ikut bahagia mendengar hal itu. Hari pernikahan sang Putri dan Pangeran pun tiba. Orang berbondong-bondong datang dari seluruh pelosok negeri untuk mengucapkan selamat. Tujuh penyihir yang baik juga datang dengan membawa hadiah.

(SELESAI)

Dongeng – Putri Seorang Saudagar

Konon duluuuu sekali, adalah seorang saudagar yang kaya. Dia mempunyai tiga orang putri. Ketiganya berparas cantik. Sulung memiliki tubuh yang ramping. Karena itu dia senang sekali memakai baju yang bagus-bagus. Tengah mempunyai kulit yang halus lembut. Karena itu dia suka memakai perhiasan yang indah-indah. Sedang si Bungsu suaranya sangat merdu. Sifatnya juga lemah lembut. Dia sayang sekali kepada ayahnya.

Suatu hari saudagar itu akan berdagang ke negri seberang. Negeri itu sangat jauh letaknya. Harus melewati hutan dan gurun yang tandus. Di sana banyak berkeliaran perampok.
“Nah!” kata saudagar itu kepada ketiga putrinya. “Apa yang kalian inginkan untuk oleh-oleh nanti?”
“Biasa Yah,” sahut si Sulung. “Saya ingin sebuah baju yang paling cantik yang ada di negri itu.”
“Kalau saya sih minta dibawakan perhiasan yang paling indah yang ada di negri itu,” seru si Tengah.
Bungsu hanya diam. Teringat dia akan mimpinya semalam. Dia merasa cemas, takut kalau apa yang dimimpikannya itu akan menjadi kenyataan.

“Bagaimana Bungsu?” Apa yang kau inginkan?” tanya saudagar itu karena si Bungsu hanya memandangi dirinya saja.
“Saya ingin ayah tidak pergi,” sahut si Bungsu dengan suara pelan.
“Huuuu!” seru si Sulung sebal. “Kalau Ayah tidak pergi bagaimana aku bisa mendapat baju yang cantik!”
“Iya, nih. Kamu bagaimana sih!” seru si Tengah tidak kalah kesal. “Kalau Ayah tidak pergi aku kan tidak bisa memiliki perhiasan yang indah.”

Saudagar itu menepuk bahu si Bungsu tanda mengerti. “Ayah mengerti mengapa kau merasa cemas melepas ayah pergi. Tapi percayalah. Ayah bisa menjaga diri.”

Bungsu menundukkan kepalanya. Ingin rasanya dia menceritakan mimpinya. Tetapi dia takut ditertawakan. Tentu kedua kakanya akan berkata, “Alaa, mimpi itu kan cuma bunga tidur.”

Karena itu setelah ayahnya pergi, Bungsu terus gelisah. Bayangan mimpi itu terus mengganggu pikirannya. Setiap kali memikirkan ayahnya air matanya menitik. Akhirnya dia mengambil keputusan untuk menyusul ayahnya. Diam-diam dia pergi meninggalkan rumahnya.

Dia berjalan menuju luar kota. Setelah seharian berjalan, dia merasa lelah. Dia duduk menyandar di bawah sebatang pohon yang rindang. Pikirannya masih dipenuhi oleh bayangan mimpinya.

“Oooh, seandainya aku menjadi burung, tentu aku bisa lebih cepat menyusul Ayah,” keluhnya. Tak terasa air mata menetes di pipinya. Angin sepoi-sepoi membuat matanya mengantuk. Apalagi badannya sudak capek sekali. Akhirnya dia tertidur lelap. Entah berapa lama dia tidur. Ketika sudah bangun dia merasa ada sesuatu yang aneh di tubuhnya.. Seluruh badannya telah ditumbuhi bulu-bulu. Tangannya berubah menjadi sayap. Dan mulutnya menjadi paruh. Dia tidak bisa lagi berbicara seperti semula. Yang keluar dari mulutnya hanyalah suara siulan yang sangat merdu.

Meskipun begitu Bungsu merasa gembira. Sebab dengan memiliki sayap, kini dia bisa lebih cepat menemukan ayahnya. Dia lalu terbang. Makin tinggi. Makin jauh. Tapi dia belum juga menemukan ayahnya. Dia sudah merasa putus asa ketika tiba-tiba dari kejauhan dia mendengar suara pekik burung gagak. Dia mencoba terbang ke arah itu. Dilihatnya segerombolan burung gagak raksasa terbang mengelilingi sesuatu benda. Bungsu segera mendekati mereka.

Astaga! Pekiknya dalam hati. Itu kuda ayahnya. Sepertinya kuda itu sudah mati. Berarti ayahnya ada di sekitar tempat itu. Dengan rasa cemas dia memeriksa sekitar tempat itu. Akhirnya dia menemukan ayahnya. Tergeletak pingsan di balik segerombolan semak. Tubuhnya terluka. Nampaknya ayahnya telah menjadi korban perampokan. Mungkin sebelum merampok ayahnya disiksa lebih dulu.

Menetes air mata Bungsu melihat keadaan ayahnya itu. Teringat dia akan mimpinya. Apa yang ditakutkannya telah menjadi kenyataan. Dia harus segera mencari pertolongan agar ayahnya bisa diselamatkan.
Bungsu segera terbang mengelilingi gurun itu. Melihat kalau-kalau ada orang yang bisa dimintai pertolongan. Haaa! Ada seorang pemuda gagah yang sedang mengendarai kuda. Nampaknya dia bermaksud beristirahat, sebab kini dia menghentikan kudanya. Memasang kemah. Menurunkan perbekalan yang dibawanya, kemudian memberi kudanya minum dan makan. Nah, sekarang pemuda itu siap menikmati makan siangnya.

Bungsu segera menukik. Menyambar roti yang siap dimasukkan ke mulut pemuda itu. Si pemuda mula-mula kaget dengan kejadian tiba-tiba itu. Tetapi kemudian dia menjadi heran. Karena burung yang telah menyambar rotinya itu tidak segera terbang menjauhinya. Burung itu terbang rendah di hdapannya. Berputar-putar seolah ingin ditangkap.

Pemuda itu menjadi penasaran. Dia berdiri. Mencoba menangkap burung cantik yang kelihatan jinak itu. Tetapi si burung mengelak. Terbang menjauh sedikit lalu berputar-putar kembali. Pemuda itu terus mengikuti burung itu. Dia penasaran. Tak sadar dia telah meninggalkan kemahnya. Kini dilihatnya burung cantik itu hinggap di atas sebuah pohon kecil. Si Pemuda mengendap-endap. Mengulurkan tangan, siap menangkap si burung. Tetapi tiba-tiba dia terbelalak kaget.

“Astaga!” serunya tatkala melihat saudagar yang sedang tergeletak pingsan. Dia segera mengangkat tubuh saudagar itu. Segera dibawanya ke kemahnya. Sementara burung cantik mengikuti dari belakang.

Setelah berada di kemahnya, saudagar itu dirawatnya dengan baik. Luka-lukanya dibersihkan, diberi obat. Pakaiannya yang kotor diganti. Dan ketika saudagar itu siuman, dia menjadi heran.
“Siapa anda?” tanyanya menatap penolongnya.
“Saya kebetulan sedang lewat. Burung itu yang menunjukkan Bapak kepada saya. Rupanya Bapak telah menjadi korban perampok,” sahut pemuda itu.
Saudagar mengangguk. “Yaa … sungguh menyesal saya karena tidak mau mendengar kata-kata anak saya yang bungsu. Padahal dia sudah melarang saya pergi. Akh, dia tentu sangat sedih bila mengetahui keadaan saya sekarang,” kata saudagar itu seraya menitikkan air matanya.

Aneh! Tiba-tiba saja si Bungsu berubah kembali menjadi seorang putri yang cantik. Dia segera memeluk ayahnya dengan gembira.
“Ayah! Syukurlah Ayah selamat,” katanya.
“Astaga! Jadi kau yang telah menunjukkan ayah kepada orang itu?” tanya saudagar itu. “Mengapa kau bisa menjadi burung?”

Bungsu segera mengisahkan kejadiannya. Kemudian dia mengucapkan terima kasih kepada pemuda yang telah menolong ayahnya. Si Pemuda tersenyum.
“Saya kagum sekali mendengar bagaimana besarnya kasih sayangmu kepada ayahmu. Kebetulan saya melakukan perjalanan ini untuk mencari seorang istri. O, ya. Perkenalkan. Saya Pangeran dari negri seberang. Kalau kamu tidak keberatan saya ingin melamar kamu menjadi istri saya.”

Begitulah akhirnya, mereka kawin dan hidup berbahagia. Saudagar itu kembali pulang ke rumahnya tanpa membawa oleh-oleh bagi kedua putrinya yang lain. Namun Bungsu menitipkan sebuah gaun yang cantik dan sepasang perhiasan bagi kedua kakaknya.

(SELESAI)

Dongeng – Putri Senaya Yang Pandai

Dahulu kala, hiduplah Raja Ronas yang adil dan bijaksana. Ia memiliki seorang putri cantik bernama Senaya. Sejak kecil, Putri Senaya suka belajar dan membaca buku. Ia tumbuh menjadi putri yang cerdas.

Putri Senaya memiliki dua hewan peliharaan. Seekor anjing hutan besar bernama Argo dan seekor kera kecil bernama Kima. Putri Senaya sangat menyayangi kedua hewan peliharaannya yang cerdas itu.

Pada suatu hari, kerajaan mereka diserang oleh kerajaan lain. Kerajaan itu diperintah Pangeran Lorka yang bengis dan suka berperang. Karena jumlah pasukan Pangeran Lorka jauh lebih besar, Raja Ronas menderita kekalahan. Ia ditawan di sebuah gua yang gelap. Jalan menuju gua itu gelap dan berliku-liku. Di gua itu ada sekawan semut beracun dan dua ekor kera besar yang buas. Tidak seorang pun bisa keluar dengan selamat bila sudah masuk ke gua itu.

Pangeran Lorka yang jahat terpesona dengan kecantikan Putri Senaya. Ia ingin memperistri Putri Senaya. Tentu saja Putri Senaya tak mau. Tapi ia harus mencari akal untuk menolaknya. Sebab jika langsung menolak, Pangeran Lorka tentu akan membunuhnya. Putri Senaya akhirnya berkata,
“Pangeran Lorka, aku tahu kau sangat pemberani dan pandai!”
“Ha, ha, ha, tentu saja! Aku Pangeran terhebat di dunia. Itu sebabnya kau harus menjadi istriku!” kata Pangeran Lorka congkak.
“Tentu saja, Pangeran. Tapi, syaratnya, anda harus membebaskan ayah saya dulu. Harus anda sendiri, tanpa bantuan prajurid!” ujar Putri Senaya cerdik.
“Ha, ha, ha, itu syarat yang mudah!” Pangeran Lorka tertawa pongah menerima tantangan Putri Senaya.

Keesokan harinya, Pangeran Lorka berangkat menuju gua itu. Ia membawa benang yang sangat panjang dan senjata untuk membunuh kera yang buas. Ia memakai sepatu dari karet agar langkahnya tak terdengar. Putri Senaya yang ikut bersamanya membawa sekantong madu di tangannya. Ketika Pangeran Lorka memasuki gua, diam-diam Putri Senaya mengoleskan beberapa tetes madu ke baju Pangeran Lorka.

Pangeran Lorka masuk ke gua sambil mengulurkan benang yang diikat ke pohon. Dengan demikian, ia tidak akan tersesat dan bisa keluar dari gua itu, pikirnya. Setelah beberapa lama, Putri Senaya memotong benang tersebut, lalu kembali ke istana.

Di dalam gua, Pangeran Lorka tidak sadar benang yang dibawanya sudah putus. Ketika melewati sarang semut ganas, ia berjalan pelan-pelan agar tidak mengganggu kawanan semut itu. Sepatu karetnya tidak menimbulkan bunyi saat melangkah. Tetapi rupanya semut-semut itu mencium bau madu yang dioleskan di bajunya. Semut-semut itu langsung menyerbu Pangeran Lorka. Pangeran jahat itu kelabakan. Ia lari tunggang-langgang mencari jalan keluar. Namun tidak bisa karena benangnya telah putus. Sementara itu, semut-semut itu terus mengikutinya.

Setelah beberapa saat, Pangeran Lorka akhirnya bisa menemukan jalan keluar. Namun ia sudah sangat lusuh dan malu. Pangeran Lorka akhirnya pergi ke tempat jauh, dan tak berani kembali lagi.

Putri Senaya menunggu di istana. Keesokan harinya, Pangeran Lorka tidak kembali. Putri Senaya yakin, Pangeran itu tentu telah jera dan malu untuk kembali. Ia pun berangkat ke gua bersama Argo dan Kima. Putri Senaya membawa dua kantung gula, dua sisir pisang, seikat anggur dan sedikit minyak tanah.

Sebelum memasuki gua, Putri Senaya membasahi ujung gaunnya yang panjang dengan minyak tanah. Waktu ia berjalan di gua, ujung gaun itu menyentuh lantai gua dan meninggalkan bau minyak tanah di lantai. Argo dan Kima mengikuti langkahnya.

Putri Senaya melewati tempat semut-semut yang ganas. Ketika semut-semut itu hendak menyerangnya, mereka mundur ketika mencium bau minyak tanah. Putri Senaya melemparkan sekantung gula ke dekat dinding gua. Semut-semut itu pun langsung menyerbu gula tanpa menghiraukan Putri Senaya lagi.

Putri Senaya melanjutkan langkahnya. Beberapa saat kemudian, terdengar suara mengeram yang keras sekali. Dan tiba-tiba, beberapa meter di depannya berdiri dua ekor kera besar yang siap menerkamnya. Kima bersembunyi ketakutan. Argo menggeram. Ia siap bertarung untuk melindungi Putri Senaya. Tapi Putri Senaya berkata, “Diam Argo!”

Putri Senaya mengeluarkan dua sisir pisang dan anggur yang dibawanya ke arah kera-kera itu. Kera-kera itu langsung memakannya tanpa menghiraukan Putri Senaya lagi. Putri Senaya melajutkan perjalanannya. Sampai akhirnya mereka tiba di suatu tempat yang lapang.

Di tempat itu ada sebuah pintu yang terkunci. Di situlah Raja Ronas ditawan. Kunci pintu itu tergantung di tempat yang tinggi di atas dinding. Putri Senaya meninta Kima mengambilkannya. Dengan lincah Kima memanjat dinding gua, mengambil kunci itu.

Raja Ronas terkejut sekali ketika melihat putrinya sendiri yang membebaskannya.
“Anakku!” serunya. “Bagaimana mungkin kau bisa masuk kemari? Dan bagaimana kita nanti bisa keluar lagi?” katanya cemas.
“Tenanglah, Ayah!” ujar Putri Senaya. “Argo, cepat ikuti bau minyak tanah di lantai!” perintahnya kemudian.

Argo mengerti kata-kata majikannya. Ia mengendus-endus, mengikuti bau minyak tanah yang ditinggalkan ujung gaun putri Senaya tadi. Ketika melewati dua ekor kera buas tadi, Raja Ronas dan Putri Senaya tersenyum. Kedua kera itu tertidur kekenyangan dan mabuk oleh pisang dan anggur tadi. Dan saat melewati kawanan semut ganas, Putri Senaya melemparkan kantung gula yang kedua.

Akhirnya mereka semua tiba di istana dengan selamat. Raja Ronas kembali memerintah negerinya dengan bijaksana. Ia sangat bangga mempunyai seorang putri yang pandai dan cerdik seperti Putri Senaya.

(SELESAI)

Dongeng – Putri Melati Wangi

Di sebuah kerajaan, ada seorang putri yang bernama Melati Wangi. Ia seorang putri yang cantik dan pandai. Di rumahnya ia selalu menyanyi. Tetapi sayangnya ia seorang yang sombong dan suka menganggap rendah orang lain. Di rumahnya ia tidak pernah mau jika disuruh menyapu oleh ibunya. Selain itu ia juga tidak mau jika disuruh belajar memasak. “Tidak, aku tidak mau menyapu dan memasak nanti tanganku kasar dan aku jadi kotor”, kata Putri Melati Wangi setiap kali disuruh menyapu dan belajar memasak.

Sejak kecil Putri Melati Wangi sudah dijodohkan dengan seorang pangeran yang bernama Pangeran Tanduk Rusa. Pangeran Tanduk Rusa adalah seorang pangeran yang tampan dan gagah. Ia selalu berburu rusa dan binatang lainnya tiap satu bulan di hutan. Karena itu ia di panggil tanduk rusa.

Suatu hari, Putri Melati Wangi berjalan-jalan di taman. Ia melihat seekor kupu-kupu yang cantik sekali warnanya. Ia ingin menangkap kupu-kupu itu tetapi kupu-kupu itu segera terbang. Putri Melati Wangi terus mengejarnya sampai ia tidak sadar sudah masuk ke hutan. Sesampainya di hutan, Melati Wangi tersesat. Ia tidak tahu jalan pulang dan haripun sudah mulai gelap.

Akhirnya setelah terus berjalan, ia menemukan sebuah gubuk yang biasa digunakan para pemburu untuk beristirahat. Akhirnya Melati Wangi tinggal digubuk tersebut. Karena tidak ada makanan Putri Melati Wangi terpaksa memakan buah-buahan yang ada di hutan itu. Bajunya yang semula bagus, kini menjadi robek dan compang camping akibat tersangkut duri dan ranting pohon. Kulitnya yang dulu putih dan mulus kini menjadi hitam dan tergores-gores karena terkena sinar matahari dan duri.

Setelah sebulan berada di hutan, ia melihat Pangeran Tanduk Rusa datang sambil memanggul seekor rusa buruannya. “Hai Tanduk Rusa, aku Melati Wangi, tolong antarkan aku pulang,” kata Melati Wangi. “Siapa ? Melati Wangi ? Melati wangi seorang Putri yang cantik dan bersih, sedang engkau mirip seorang pengemis”, kata Pangeran Tanduk Rusa. Ia tidak mengenali lagi Melati Wangi. Karena Melati Wangi terus memohon, akhirnya Pangeran Tanduk Rusa berkata,” Baiklah, aku akan membawamu ke Kerajaan ku”.

Setelah sampai di Kerajaan Pangeran Tanduk Rusa. Melati Wangi di suruh mencuci, menyapu dan memasak. Ia juga diberikan kamar yang kecil dan agak gelap. “Mengapa nasibku menjadi begini ?”, keluh Melati Wangi. Setelah satu tahun berlalu, Putri Melati Wangi bertekad untuk pulang. Ia merasa uang tabungan yang ia kumpulkan dari hasil kerjanya sudah mencukupi.Sesampainya di rumahnya, Putri Melati Wangi disambut gembira oleh keluarganya yang mengira Putri Melati Wangi sudah meninggal dunia.

Sejak itu Putri Melati Wangi menjadi seorang putri yang rajin. Ia merasa mendapatkan pelajaran yang sangat berharga selama berada di hutan dan di Kerajaan Pangeran Tanduk Rusa. Akhirnya setahun kemudian Putri Melati Wangi dinikahkan dengan Pangeran Tanduk Rusa. Setelah menikah, Putri Melati Wangi dan Pangeran Tanduk Rusa hidup berbahagia sampai hari tuanya.

(SELESAI)